Guruku
Oleh KH. A. Mustofa Bisri.
Ketika aku kecil dan menjadi
muridnya
Dialah di mataku orang terbesar dan
terpintar
Ketika aku besar dan menjadi pintar
Kulihat dia begitu kecil dan lugu
Aku menghargainya dulu
Karena tak tahu harga guru
Ataukah kini aku tak tahu
Menghargai guru?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yup.
Sebuah puisi dari KH. Ahmad Mustofa Bisri yang begitu mengena untuk situasi
saat ini. Zaman memang terus berubah. Ia tidak peduli apakah kita siap dengan
perubahan itu atau pun tidak. Tanpa disadari, perubahan terjadi sedikit demi
sedikit tapi bersifat pasti. Tidak ada satu hal pun yang abadi, termasuk dengan
zaman dan kemajuan.
Pendidikan
anak dewasa ini mendapatkan perhatian yang begitu besar. Bukan pada out put yang
bisa dibuktikan dengan narasi dan angka, tetapi lebih pada perubahan karakter
yang saat ini dianggap mulai jauh dari karakter ketimuran.
Lihatlah
sekeliling, ada berapa banyak anak-anak usia sekolah yang saat ini bahkan lupa
bagaimana caranya bersikap dan berbicara santun dengan orang yang lebih tua
darinya. Dan lebih mengejutkan lagi, anak-anak tidak merasa bersalah atau pun malu
saat mereka melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak seusia
mereka.
Ada
banyak sekali kasus yang terjadi belakangan ini. Tidak usah jauh-jauh. Beberapa
bahkan terjaddi kampung halaman saya, Gunungkidul. Ada kejadian yang sempat
viral beberapa waktu yang lalu. Sebuah video tentang siswa salah satu SMP di
Gunungkidul yang membawa sabit ke sekolah berseliweran di linimasa. Pemicunya
sepele, ponsel pintar yang dibawanya ke sekolah disita oleh gurunya. Contoh
lain, seorang siswa kelas VI SD yang kedapatan berkomentar
secara kasar di media sosial gurunya.
Bukanlah
hal yang sepele jika seorang siswa kelas VI SD berani melakukan body shaming
secara verbal pada gurunya. Dan yang lebih membuat saya miris, sepertinya ia tidak memiliki rasa
bersalah sedikit pun terhadap apa yang ia lakukan. Hal ini patut dipertanyakan.
Mengapa banyak siswa yang saat ini seperti menyepelekan atau bahkan tidak menghargai gurunya sama sekali.
Kejadian
lain, ada seorang siswa yang bertanya, “Bagaimana caranya membuat adik?” saat
pelajaran di kelas. Ia juga merapatkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya
sehingga membentuk huruf O, sedangkan telunjuk tangan kirinya secara sporadis
dimasukkan dalam lubang itu. Apa yang ia lakukan memantik gelak tawa seisi kelas. Jika di sekolah saja ia bisa berlaku
demikian, apa lagi di luar?
Terus
apa yang salah dengan pertanyaan semacam itu? Iya. Pertanyaan macam itu memang
tidak salah, tapi apa yang dipikirkan oleh anak itulah yang patut dipertanyakan.
Kenapa siswa SD bahkan tanpa malu melontarkan pertanyaan dan melakukan gerakan
yang seolah-olah sudah pernah disaksinkannya hingga ia mampu membuat symbol
dengan jari tangannya? Kenapa seorang anak SD bahkan berani dan tanpa malu
merintih seolah-olah ia pernah menyaksikan secara langsung adegan-adegan yang
belum elok disaksikan oleh anak seusiannya.
Jika
seorang anak berani membawa ponsel pintar ke sekolah, padahal sudah jelas
peraturan sekolah melarang siswa membawa ponsel, jelas ada yang
salah dengan etika dan karakter si siswa. Karakter seseorang terbentuk sejak ia
masih kanak-kanak. Jika sejak kecil seorang anak dibiasakan untuk bertindak
sesuka hatinya tanpa mengindahkan norma-norma yang ada, karakter itulah yang
akan ia bawa sampai dewasa.
Pendidikan
anak bukan semata-mata tanggung jawab guru dan pemerintah. Pemerintah dan pihak
sekolah, dalam hal ini guru, hanya sebagai pendidik yang memfasilitasai
penyampaian materi dan pembinaan etika dan karakter anak saat di sekolah. Jika
orang tua tidak mendukung atau bahkan membiarkan anak-anak terlena dengan
berbagai kemudahan yang ada, bukan tidak mungkin, pendidikan karakter yang
digadang-gadang oleh pemerintah saat ini hanyalah omong kosong belaka.
Internet
memang memberikan kemudahan dalam berbagai hal. Ia bisa mendatangkan sesuatu
yang positif jika dimanfaatkan dengan baik. Tapi sebaliknya, ia juga mampu
membawa kerusakan yang cukup signifikan jika tidak diimbangi dengan kesadaran
dan kebijakan dalam penggunaannya.
Beberapa
hari yang lalu, saya memanggil salah seorang siswa saya ke kantor guru. Ada
laporan dari beberapa wali murid yang mengatakan bahwa ia mengirimkan beberapa
video porno ke siswi sekelasnya. Parahnya lagi, ternyata bukan haya satu siswi,
tapi ada sebelas siswi yang dikirimi video itu. Dalam kejadian semacam ini,
banyak orang yang berfikir bahwa kesepuluh siswi yang dikirimi video adalah
korban. Tapi bagi saya, si pengirim maupun si penerima juga merupakan korban.
Saya
berpendapat demikian karena si siswa yang melakukan kesalahan semacam itu
adalah siswa yang kurang pengawasan dari orang tua. Ia mendapatkan apa yang ia
inginkan tanpa disertai pengawasan. Dalam hal ini, orang tua lah yang
seharusnya mengawasi penggunaan ponsel oleh anaknya. Sayangnya, banyak orang
tua yang bahkan tidak tau cara mengecek browser history di ponsel anaknya.
Mereka cukup membuka WA dan melihat foto atau video yang tersimpan di galeri ponsel
anaknya. Jika tidak ada yang
mencurigakan, maka dianggap aman. Padahal, ada banyak konten dan video yang
bisa didownload dan ditonton saat offline di youtube. Video semacam ini tidak
tersimpan di galeri tapi bisa diakses tanpa menggunkan internet. Kapan pun,
dimana pun dan oleh siapa pun.
Dari
beberapa kejadian tersebut membuat saya
mengelus dada. Jujur saja, saya merasa begitu miris dengan keadaan seperti ini.
Jika biasanya saya membuat tulisan dengan bahasa yang ringan dan sedikit
slengekan, kali ini saya tidak bisa sedikit pun tersenyum saat menuliskan apa
yang ingin saya katakan.
Bagi generasi 90an seperti saya,
guru adalah seseorang yang begitu disegani di sekolah. Jangankan berkata kasar,
sekedar memiliki niat untuk menyebut nama guru tanpa embel-embel Pak atau Bu
pun kami tidak akan berani. Lihat sekarang! Bukankah melihat anak membungkukkan
badan sambal berkata, “Nderek langkung,” di depan orang yang lebih tua saja
sudah jarang?
Zaman terus berubah. Ia menjadi
lebih kejam bagi yang tidak siap dengan perubahan, namun juga menjadi sesuatu
yang sangat menyenangkan bagi seseorang yang penuh dengan kreasi dan inovasi.
Perkembangan teknologi yang begitu cepat, didukung dengan mudahnya mengakses
internet dari ponsel yang dimiliki, menjadi salah satu faktor terbesar yang
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anak saat ini.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang
paling tepat untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat posistif untuk pengembangan
diri, tapi juga merupakan masa yang rawan bagi anak untuk membentuk karakter
jika mereka menjadikan sosok yang salah sebagai tauladan. Anak-Anak lebih
mengenal sosok yang lebih banyak dilihat secara visual dari laman facebook atau
pun youtube. Karenanya, kerja sama antara orang tua dan guru jelas diperlukan.
Bukan hanya dengan membuat wa grup kelas untuk sarana komunikasi, tapi lebih
pada penekanan dan kedisiplinan dalam mengunakan ponsel yang dimiliki.
Kejadian
semacam ini sudah disampaikan pada saat pertemuan dengan wali murid beberapa
saat yang lalu. Njenengan tahu apa komentar yang paling menohok atas kejadian
itu?
“Lha gimana mau menasehati soal yang begituan,
gurunya saja belum menikah.”
Duuaaarrrrr!!!!!
ambyar, Mas. Ambyar!!! Sri sudah lelah.
Bahkan
mengajar pun kini dikaitkan dengan kejombloan. Otw gigit jari tetangga!
Ahahahaaahaaaaaaahaaaaahaaaa.