Postingan Populer

Senin, 11 November 2019

Ketika Siswa (tak) Beretika

Guruku
Oleh KH. A. Mustofa Bisri.

Ketika aku kecil dan menjadi muridnya

Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar

Ketika aku besar dan menjadi pintar

Kulihat dia begitu kecil dan lugu

Aku menghargainya dulu

Karena tak tahu harga guru

Ataukah kini aku tak tahu

Menghargai guru?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yup. Sebuah puisi dari KH. Ahmad Mustofa Bisri yang begitu mengena untuk situasi saat ini. Zaman memang terus berubah. Ia tidak peduli apakah kita siap dengan perubahan itu atau pun tidak. Tanpa disadari, perubahan terjadi sedikit demi sedikit tapi bersifat pasti. Tidak ada satu hal pun yang abadi, termasuk dengan zaman dan kemajuan.
Pendidikan anak dewasa ini mendapatkan perhatian yang begitu besar. Bukan pada out put yang bisa dibuktikan dengan narasi dan angka, tetapi lebih pada perubahan karakter yang saat ini dianggap mulai jauh dari karakter ketimuran.
Lihatlah sekeliling, ada berapa banyak anak-anak usia sekolah yang saat ini bahkan lupa bagaimana caranya bersikap dan berbicara santun dengan orang yang lebih tua darinya. Dan lebih mengejutkan lagi, anak-anak tidak merasa bersalah atau pun malu saat mereka melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak seusia mereka.
Ada banyak sekali kasus yang terjadi belakangan ini. Tidak usah jauh-jauh. Beberapa bahkan terjaddi kampung halaman saya, Gunungkidul. Ada kejadian yang sempat viral beberapa waktu yang lalu. Sebuah video tentang siswa salah satu SMP di Gunungkidul yang membawa sabit ke sekolah berseliweran di linimasa. Pemicunya sepele, ponsel pintar yang dibawanya ke sekolah disita oleh gurunya. Contoh lain, seorang siswa kelas VI SD yang kedapatan berkomentar secara kasar di media sosial gurunya.
Bukanlah hal yang sepele jika seorang siswa kelas VI SD berani melakukan body shaming secara verbal pada gurunya. Dan yang lebih membuat saya miris, sepertinya ia tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun terhadap apa yang ia lakukan. Hal ini patut dipertanyakan. Mengapa banyak siswa yang saat ini seperti menyepelekan atau bahkan tidak menghargai gurunya sama sekali.
Kejadian lain, ada seorang siswa yang bertanya, “Bagaimana caranya membuat adik?” saat pelajaran di kelas. Ia juga merapatkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya sehingga membentuk huruf O, sedangkan telunjuk tangan kirinya secara sporadis dimasukkan dalam lubang itu. Apa yang ia lakukan memantik gelak tawa seisi  kelas. Jika di sekolah saja ia bisa berlaku demikian, apa lagi di luar?
Terus apa yang salah dengan pertanyaan semacam itu? Iya. Pertanyaan macam itu memang tidak salah, tapi apa yang dipikirkan oleh anak itulah yang patut dipertanyakan. Kenapa siswa SD bahkan tanpa malu melontarkan pertanyaan dan melakukan gerakan yang seolah-olah sudah pernah disaksinkannya hingga ia mampu membuat symbol dengan jari tangannya? Kenapa seorang anak SD bahkan berani dan tanpa malu merintih seolah-olah ia pernah menyaksikan secara langsung adegan-adegan yang belum elok disaksikan oleh anak seusiannya.
Jika seorang anak berani membawa ponsel pintar ke sekolah, padahal sudah jelas peraturan sekolah melarang siswa membawa ponsel, jelas ada yang salah dengan etika dan karakter si siswa. Karakter seseorang terbentuk sejak ia masih kanak-kanak. Jika sejak kecil seorang anak dibiasakan untuk bertindak sesuka hatinya tanpa mengindahkan norma-norma yang ada, karakter itulah yang akan ia bawa sampai dewasa.
Pendidikan anak bukan semata-mata tanggung jawab guru dan pemerintah. Pemerintah dan pihak sekolah, dalam hal ini guru, hanya sebagai pendidik yang memfasilitasai penyampaian materi dan pembinaan etika dan karakter anak saat di sekolah. Jika orang tua tidak mendukung atau bahkan membiarkan anak-anak terlena dengan berbagai kemudahan yang ada, bukan tidak mungkin, pendidikan karakter yang digadang-gadang oleh pemerintah saat ini hanyalah omong kosong belaka.
Internet memang memberikan kemudahan dalam berbagai hal. Ia bisa mendatangkan sesuatu yang positif jika dimanfaatkan dengan baik. Tapi sebaliknya, ia juga mampu membawa kerusakan yang cukup signifikan jika tidak diimbangi dengan kesadaran dan kebijakan dalam penggunaannya.
Beberapa hari yang lalu, saya memanggil salah seorang siswa saya ke kantor guru. Ada laporan dari beberapa wali murid yang mengatakan bahwa ia mengirimkan beberapa video porno ke siswi sekelasnya. Parahnya lagi, ternyata bukan haya satu siswi, tapi ada sebelas siswi yang dikirimi video itu. Dalam kejadian semacam ini, banyak orang yang berfikir bahwa kesepuluh siswi yang dikirimi video adalah korban. Tapi bagi saya, si pengirim maupun si penerima juga merupakan korban.
Saya berpendapat demikian karena si siswa yang melakukan kesalahan semacam itu adalah siswa yang kurang pengawasan dari orang tua. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa disertai pengawasan. Dalam hal ini, orang tua lah yang seharusnya mengawasi penggunaan ponsel oleh anaknya. Sayangnya, banyak orang tua yang bahkan tidak tau cara mengecek browser history di ponsel anaknya. Mereka cukup membuka WA dan melihat foto atau video yang tersimpan di galeri ponsel anaknya. Jika tidak ada  yang mencurigakan, maka dianggap aman. Padahal, ada banyak konten dan video yang bisa didownload dan ditonton saat offline di youtube. Video semacam ini tidak tersimpan di galeri tapi bisa diakses tanpa menggunkan internet. Kapan pun, dimana pun dan oleh siapa pun.
Dari beberapa  kejadian tersebut membuat saya mengelus dada. Jujur saja, saya merasa begitu miris dengan keadaan seperti ini. Jika biasanya saya membuat tulisan dengan bahasa yang ringan dan sedikit slengekan, kali ini saya tidak bisa sedikit pun tersenyum saat menuliskan apa yang ingin saya katakan.
            Bagi generasi 90an seperti saya, guru adalah seseorang yang begitu disegani di sekolah. Jangankan berkata kasar, sekedar memiliki niat untuk menyebut nama guru tanpa embel-embel Pak atau Bu pun kami tidak akan berani. Lihat sekarang! Bukankah melihat anak membungkukkan badan sambal berkata, “Nderek langkung,” di depan orang yang lebih tua saja sudah jarang?
            Zaman terus berubah. Ia menjadi lebih kejam bagi yang tidak siap dengan perubahan, namun juga menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi seseorang yang penuh dengan kreasi dan inovasi. Perkembangan teknologi yang begitu cepat, didukung dengan mudahnya mengakses internet dari ponsel yang dimiliki, menjadi salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anak saat ini.
            Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling tepat untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat posistif untuk pengembangan diri, tapi juga merupakan masa yang rawan bagi anak untuk membentuk karakter jika mereka menjadikan sosok yang salah sebagai tauladan. Anak-Anak lebih mengenal sosok yang lebih banyak dilihat secara visual dari laman facebook atau pun youtube. Karenanya, kerja sama antara orang tua dan guru jelas diperlukan. Bukan hanya dengan membuat wa grup kelas untuk sarana komunikasi, tapi lebih pada penekanan dan kedisiplinan dalam mengunakan ponsel yang dimiliki.
Kejadian semacam ini sudah disampaikan pada saat pertemuan dengan wali murid beberapa saat yang lalu. Njenengan tahu apa komentar yang paling menohok atas kejadian itu?
 “Lha gimana mau menasehati soal yang begituan, gurunya saja belum menikah.”
Duuaaarrrrr!!!!! ambyar, Mas. Ambyar!!! Sri sudah lelah.
Bahkan mengajar pun kini dikaitkan dengan kejombloan. Otw gigit jari tetangga! Ahahahaaahaaaaaaahaaaaahaaaa.

Tugas Akhir Pembatik Level 4 Tahun 2023

Hei...hei...hei...Sahabat Teknologi Yogyakarta tahun 2023. Bagaimana nih, progres tugas akhir PembaTIKnya? Hari ini tenggat terakhirnya, loh...