Sejak kecil, saya terbiasa bermain dengan alam. Bermain sapi-sapian dengan batu bolong yang ditali dengan tali gedebog pisang. Mencari belalang untuk pakan burung penthet yang didapatkan oleh bapak lewat jebakan. Maupun bermain gobak sodor sepulang sekolah sampai magrib di halaman rumah orang, sampai emak saya menjemput saya dengan membawa ranting kayu untuk menyuruh saya pulang.
Bapak dan emak saya,
serta sebagian besar warga di kampung saya adalah pembuat genting tanah liat.
Tapi ingatan saya tentang sentra pembuatan genting di kampung saya sudah sangat
samar. Satu-satunya ingatan terkuat saya tentang kerajinan genting di kampung
saya adalah saat saya menginjak paku di tempat pengilingan tanah liat. Juga
bagaimana senangnya perasaan saya saat ikut Bapak mencari tanah liat dengan naik
truknya Lek Sudiyo. Saya paling suka duduk di atas kepala truk sambil dipegangi
oleh Bapak. Belum lagi jika sudah pasaran pahing, saya akan berjalan dengan
berjingkrak saat Bapak menjual semua gentingnya dengan mobil coldisel
legendaris satu pintu itu. Itu artinya, saya bisa minta uang untuk jajan ciki
kuning gulai ayam dan fujimie. Makangan ringan yang sudah tidak bisa saya
temukan saat ini.
Saya dibesarkan dalam
kultur nggunung yang masih sangat kental. Itulah alasannnya, kenapa saya selalu
merasa rindu dengan kampung halaman meskipun setiap minggu pulang dari numpang
gajian di tanah orang. Lebay ya? Biarin lah. Suka-suka…yehhh…
Hari ini, saya kembali
mengenang sosok Bapak. Saat berada di situasi merindukan sosoknya setelah
sekian lama tidak bersua, saya hanya bisa memandangi fotonya. Rasa kehilangan
itu memang tidak akan pernah bisa hilang dari hati orang-orang yang
ditinggalkan. Bahkan sampai sekarang. Mengenang seseorang adalah fase terberat
saat kita tidak lagi bisa memutar waktu dan kembali bersua seperti dulu.
Bagaimana tidak, hari ini, tepat seribu hari yang lalu, Bapak menghadap Tuhan.
Tidak ada kalimat terbaik untuk mengiringi kepergiannya selain untaian doa.
Lahul Fatihah untukmu, Bapak. Kami merindukanmu…
Seperti kata Jalaluddin
Rumi, “Jangan pernah
mengatakan selamat tinggal, karena selamat tinggal hanya untuk mereka yang
mencintai dengan mata. Untuk mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tidak
ada kata perpisahan.”