Postingan Populer

Senin, 23 November 2020

Tentang Bapak (Lagi)

             Sejak kecil, saya terbiasa bermain dengan alam. Bermain sapi-sapian dengan batu bolong yang ditali dengan tali gedebog pisang. Mencari belalang untuk pakan burung penthet yang didapatkan oleh bapak lewat jebakan. Maupun bermain gobak sodor sepulang sekolah sampai magrib di halaman rumah orang, sampai emak saya menjemput saya dengan membawa ranting kayu untuk menyuruh saya pulang. 

Bapak dan emak saya, serta sebagian besar warga di kampung saya adalah pembuat genting tanah liat. Tapi ingatan saya tentang sentra pembuatan genting di kampung saya sudah sangat samar. Satu-satunya ingatan terkuat saya tentang kerajinan genting di kampung saya adalah saat saya menginjak paku di tempat pengilingan tanah liat. Juga bagaimana senangnya perasaan saya saat ikut Bapak mencari tanah liat dengan naik truknya Lek Sudiyo. Saya paling suka duduk di atas kepala truk sambil dipegangi oleh Bapak. Belum lagi jika sudah pasaran pahing, saya akan berjalan dengan berjingkrak saat Bapak menjual semua gentingnya dengan mobil coldisel legendaris satu pintu itu. Itu artinya, saya bisa minta uang untuk jajan ciki kuning gulai ayam dan fujimie. Makangan ringan yang sudah tidak bisa saya temukan saat ini.



Saya dibesarkan dalam kultur nggunung yang masih sangat kental. Itulah alasannnya, kenapa saya selalu merasa rindu dengan kampung halaman meskipun setiap minggu pulang dari numpang gajian di tanah orang. Lebay ya? Biarin lah. Suka-suka…yehhh…

Hari ini, saya kembali mengenang sosok Bapak. Saat berada di situasi merindukan sosoknya setelah sekian lama tidak bersua, saya hanya bisa memandangi fotonya. Rasa kehilangan itu memang tidak akan pernah bisa hilang dari hati orang-orang yang ditinggalkan. Bahkan sampai sekarang. Mengenang seseorang adalah fase terberat saat kita tidak lagi bisa memutar waktu dan kembali bersua seperti dulu. Bagaimana tidak, hari ini, tepat seribu hari yang lalu, Bapak menghadap Tuhan. Tidak ada kalimat terbaik untuk mengiringi kepergiannya selain untaian doa. Lahul Fatihah untukmu, Bapak. Kami merindukanmu…

Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Jangan pernah mengatakan selamat tinggal, karena selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata. Untuk mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tidak ada kata perpisahan.”

Selasa, 10 November 2020

Cah Nggunung dan Image yang Melekat Bersamanya

        Sebagai anak kampung yang numpang tidur di ruangan berukuran  tiga kali empat meter persegi, saya sering mendengar ungkapan Cah Nggunung. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan tukang nasi uduk di dekat kosan pun pernah berujar demikian.

        "Dari nggunung dapat kerja di sini, tuh, bejo Mbak. Di sini mudah air, juga bukan daerah terpencil,"

        Mendengar kalimat itu, auto pingin ngumpat sebenarnya. Akan tetapi kalimat umpatan yang sudah tersusun rapi urung saya lontarkan karena saya sudah berniat menjadi anak yang berbudi pekerti luhur. Yah, mau bagaimana lagi, kadang keinginan untuk membangun image anak sholehah mengalahkan sifat asli. Padahal, jika boleh jujur, saya ini nggak sholehah-sholehah amat. Saya ini pengingat yang ulung. Perkataan dan sikap yang menyakitkan bagi saya bertahu-tahun yang lalu pun masih saya ingat dengan jelas. Saya bukan pendendam, tapi sesuatu yang menyakitkan memang tidak mudah disembuhkan.

        Dari ungkapan Cah Nggunung tadi, akhirnya saya paham bahwa banyak orang di luar sana yang menganggap Gunungkidul adalah wilayah yang ndesit, kering, kurang air, serta masyarakatnya cenderung katrok, miskin, dan terbelakang. Pemahaman seperti itulah yang sampai sekarang masih tertanam dengan kuat di benak orang-orang luar Gunungkidul.

        Saya bukan anak bahasa, tapi kadang saya tahu bahwa ungkapan Cah Nggunung yang dikatakan dengan intonasi, gestur dan mimik muka tertentu, adalah bentuk dari basa-basi yang sudah sangat basi, bukan untuk mengakrabkan diri.

        Tidak seperti kawan-kawan lain yang kadang berujar dengan cukup kasar, " Woe, jebule isih urip, to Kowe?" Kalimat yang terdengar dengan cukup kasar, namun terdengar tulus lahir batin.



        Bisa tidak kita menilai seseorang tanpa melibatkan darimana ia berasal? Bisa tidak kita menilai seseorang tanpa melibatkan penampilan? 

        Sebenarnya hal yang wajar ketika kita menilai diri sendiri lebih baik dari orang lain. Sah-sah saja ketika kita merasa bahwa kita sudah merusaha memperbaiki diri dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Yang menjadikannya buruk, karena penilaian yang berlebih terhadap diri sendiri hingga membuat kita memandang rendah orang lain.

        Tanpa disadari, terkadang kita membuat benteng untuk diri sendiri. Membangun sekat yang tidak terlihat, dan meyakinkan diri bahwa kita lebih baik dari orang lain gegara ibadah yang kita lakukan. Merasa diri lebih baik hanya karena penampilan. 

        Tahu Bilal Bin Rabbah? Sahabat Rasul yang dianggap berbeda karena perbedaan warna kulitnya. Tidak heran, Tuhan kemudian menurunkan firmanNya dalam Al Hujurat: 13. Itulah bedanya Bilal dengan kita. Ketika Bilal mendapatkan cemoohan karena perbedaan warna kulit dan kasta karena dianggap lebih rendah di mata manusia, Tuhan langsung menegur dengan menurunkan wahyu tersebut. Sampai di sini seharusnya kita bisa belajar, bahwa merasa diri lebih baik dari orang lain bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Apa lagi jika sudah membawa warna kulit, orang tua, suku, dan agama.

        Terlalu jauh jika saya mengambil contoh rasisme di Amerika. Tentang George Floyd dan keributan sesudahnya. Kita ambil contoh yang terdekat saja. Papua. Tahu kan, bagaimana cerita tentang perlakuan diskriminatif dan rasisme terdadap warga Papua?

        Beberapa kali saya membaca artikel tentang perlakuan diskriminatif terhadap warga Papua. Saudara kita, satu bangsa, satu bahasa. tapi pernahkah kita berpikir, bagaimana sakitnya perasaan mereka saat kita sendiri memandang mereka seolah-olah bukan saudara hanya karena perbedaan warna kulit dan agamanya? 

        Common guys!!!

        Sudah saatnya bagi kita untuk belajar menghargai sesama, terlepas darimana asalnya, apapun sukunya, bagaimana pun caranya berkomunikasi dengan Tuhannya, maupun bagaimana logat bahasanya. Perbedaan bukanlah suatu yang menakutkan. Tuhan tidak pernah menciptakan perbedaan untuk menjadi bahan perdebatan. Seharusnya sebagai makhluk yang mengaku berTuhan, bukankah kita bisa belajar kebersamaan dari banyaknya perbedaan? Ingat, ya, Never  judge anyone by the opinion of others.

        


Senin, 09 November 2020

Tak Ada Kata Perpisahan Untuk Mereka Yang Mencintai dengan Hati

        "Wah, ternyata sekarang sudah naik-turun bukit tinggi, ya, Mbak?"

        Begitu kira-kira percakapanku denganmu hampir dua bulan yang lalu. tentangnya, rasa-rasanya aku belum pernah bercerita, bukan?

        Rasa menyesal dan jengkel menyeruak karea situasi yang serba terbatas seperti saat ini. Pun ditambah tidak bisa bersama sosok yang selama ini sudah dianggap sebagai guru sendiri. Setiap orang pasti pernah atau bahkan akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan ayah atau ibu tercinta. Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa pada akhirnya Tuhanlah pemilik seluruh jiwa di dunia. Tanpa terkecuali.



        Baru kemarin aku membaca  tentang kondisi ibumu yang kau tulis dengan sangat rinci di dinding facebookmu. Tentang bagaimana merawat ibu dengan kondisi jantungyang sudah dipasang klep. Masih ditambah dengan kondisi meningkatnya kadar gula selama beberapa bulan ini.

        Di antara kita, tidak akan pernah mau jika kita kehilangan sosok yang sangat disayangdalam kondisi yang tidak diinginkan. setelah beberapa kali cek dan dirawat di rumah sakit, akhirnya hasil dari rangkaian tes yang sudah dilakukan pun keluar.

        Positiv Covid-19.

        Sebuah penyakit yang bahkan beberapa dari kita menyepelekannya. sebuah penyakit yang bahkan masih bisa menghampiri kita saat kita sudah sangat berhati-hati dan menjalankan protokol kesehatan dengan sangat ketat.

        Kondisi keluargamu langsung down. Engkau juga. tapi ternyata kau tetap kuat. kondisi ibu yang semakin melemah tidak membuatmu berlarut-larut dalam kesedihan. kau bangun kembali semangatmu saat orang-orang yang tidak teredukasi mengucilkan keluargamu. Kau menulisnya dengan sangat rinci, hingga orang lainlain yang masih memiliki akal sehat mampu berfikir jernih dan tidak menyepelekan bahaya virus ini.

        Minggu lalu kabar duka itu datang. Ibumu berpulang setelah hampir sebulan berjuang melawan. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Lhul fatihah untuk ibumu, Pak. Beliau orang baik. yakin bahwa surga telah menantinya. Ingatlah satu kalimat ini, "Jangan pernah mengatakan selamat tinggal, karena selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata. Untuk mereka yang mencintaidengan hati dan jiwa, tidak ada kata perpisahan. (Jalaludin Rumi) 

Tugas Akhir Pembatik Level 4 Tahun 2023

Hei...hei...hei...Sahabat Teknologi Yogyakarta tahun 2023. Bagaimana nih, progres tugas akhir PembaTIKnya? Hari ini tenggat terakhirnya, loh...