Postingan Populer

Kamis, 16 Agustus 2018

Percayalah, Tidak Ada Kepercayaan yang Dihargai dengan Murah



“Permen ini terlalu manis hingga terasa pahit,”

Kalimat ini terdengar sangat familiar bukan?

Ya, iyalah. Itu adalah sepotong kalimat yang diucapkan oleh Go Dong Mae kepada penjual permen yang menawarinya permen perancis dalam episode kedelapan drama Mr. Sunshine. Lugasnya, segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Terlalu manis, terlalu pahit, terlalu asin, terlalu banyak, terlalu…terlalu…terlalu percaya.

Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat berharga untuk sebagian orang. Sebagian lain, menganggapnya sebagai bahan candaan yang bisa dimainkan sesuai keadaan. Unfortunately, saya mengalami yang kedua. Dan ini serius. Sakit.

Seorang teman pernah menitipkan amanah pada saya untuk menjaga novel Laskar Pelanginya Andrea Hirata yang saya pinjam darinya. Tapi dasar saya saja yang tidak bisa menjaga amanah. Tidak bisa menjaga keercayaan. Novel itu kembali bertahun kemudian dalam keadaan yang dedel duel. Sampulnya ilang. Lemnya berantakan.

Eh, tapi jangan salah. Saya ragu ia membeli novel yang asli. Lha wong kertasnya butek. Udah gitu, lemnya juga mbregedel. Mau awet dari mana coba? So, saya juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi, ya, saya akui saya salah. Meskipun teman saya sempat marah, ia akhirnya memaafkan kesalahan saya. Toh, ia juga meminjam buku saya dari tahun 2013 dan sampai sekarang belum dikembalikan. Buku setebal lima ratusan halaman brooo,,,mau diminta, nggak enak. Nggak diminta kok yo eman.

Lain cerita, saat saya esempe, pernah ada penggalangan dana untuk perbaikan gitar kayu yang bahkan tidak menyerupai bentuk gitar beneran. Kalo senarnya dipetik, boro-boro mau bunyi jreng,,,jreng,,,jreng, lha wong malah berbunyi gruk,,,gruk,,,gruk,,alis tidak bisa berbunyi sama sekali. Saya selalu tertawa saat mengingat moment ini. Tapi saya salut dengan pak guru musik saya, beliau cukup ‘kreatif’ membuat kami mengenal nada A, D, E, sampai Z dengan gitar antik bersenar enam yang tidak bisa berbunyi itu. Maha suci gitar dengan segala harapan palsunya.

Entah bagaimana kabar gitar legendaris itu sekarang? Kalopun gitar antik itu masih digunakan, apa anak esempe saat ini bisa berimajinasi liar seperti angkatan kami dulu? Pegang balok kayu dengan panjang sekitar 50an cm, tapi mampu membuat kami merasa keren bak Eros Sheila On7 saat mengiringi Duta menyanyi lagu “Seberapa Pantas”. Oh, benar-benar the power of imagination.

saya tidak yakin generasi sekarang bisa  bersabar memegang balok kayu sekaligus berimaginasi dengan cukup tinggi. Mentok, mereka akan tersenyum sambil berujar, “Iki kih buronan opo, sih?”

Saya lebih yakin mereka akan mengunduh aplikasi alat music dari play store. Butuh gitar? Play store. Butuh piano? Play store. Butuh drum? Play stor. Pingin jadi penyanyi? Play store.
Untung saja mereka tidak bermain band dengan memegang ponsel masin-masing. Kalo iya? Bayangkan sendiri, kok! Mosok saya juga harus menuliskannya untuk Njenengan. Penakmen!

Zaman memang telah berubah. Segala sesuatu bisa didapatkan dengan lebih mudah, minus calon suami. Jangankan alat musik, lha wong kendaraan  pun bisa diunduh lewat play store kok. Saya bahkan pernah jadi sopir truk baru-baru ini. Serius. tapi ya, itu tadi. Play store.

Oh, iya. Kembali lagi. Seperti lazimnya gitar beneran, gitar kayu itu pun juga butuh kasih sayang dari kami. Terlalu banyak tangan yang memegang, membuatnya butuh peremajaan senar. Senar pancing. Iya, mirip senar pancing. Dulu, saya melipatkan jumlahnya pada saat meminta uang pada bapak. Bapak memberikan tanpa bertanya. Lalu, dimna masalahnya?

Bentar to,,, sabar.

Masalah itu baru muncul saat tetangga saya yang anaknya juga sekelas dengan saya bercerita bahwa ia dimintai uang untuk perbaikan gitar antik itu. Dan cetho buto, jumlahnya berbeda dengan milik saya. Emak bertanya pada bapak. Bapak menjawab jujur. Cep klakep, saya mungkret.

Pulang sekolah, emak nggedumel tapa henti. Ceramah panjang dari A-Z. Dibilang ini, dibilang itu, dan bla…bla…bla..

Dan Njengan tahu bagaimana akhirnya, setiap kali ada iuran dari sekolah, Emak tidak lagi percaya dengan saya. Ia selalu bertanya kepada tetangga saya untuk melihat kejujuran saya.

Kejadian itu sudah bertahun berlalu, tapi sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Mungkin emak sudah lupa, tapi tidak dengan saya. Saya tipikal orang yang tidak bisa melupakan apa pun begitu saja.  Hal-hal yang menyenangkan atau sebaliknya, akan terekam dengan jelas dalam memori saya dalam waktu yang lama. Begitulah, terkadang ada hal-hal yang hanya bisa dimaafkan namun tak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Dalam hal memaafkan, saya tipikal yang buruk sekali. Untuk satu hal ini, saya masih berusaha seikhlas mungkin. Belajar dari Om Goenawan Muhammad, “Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future”.

Selalu ada sisi positif dari setiap kejadian. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kesalahan. Kepercayaan itu memang terkesan sederhana. Saya pernah membohongi orang tua, Akibatnya, emak tak lagi percaya pada saya meskipun saya sudah berkata sejujur-jujurnya. Saya sadar, ada harga yang mesti dibayar mahal saat tidak kepercayaan itu sudah hilang.

Percayalah, tidak ada kepercayaan yang dihargai dengan murah.

Udah, pingin cerita gitu saja. Oh, iya, abaikan saja foto trio ubur-ubur itu. Sungguh tak ada faedahnya melihat foto itu. Kenapa? Karena dua orang d kiri dan kanan saya telah menikah dan hidup bahagia dunia-akhirat dengan pasangan masing-masing. Tinggal yang tengah,perhatikan baek-baek. Itu foto saya, belum ada yang punya. Haha,,,

Mohon maaf karena membuat dua menit Panjenengan terbuang percuma.
Matur nuwun untuk waktunya.

Rabu, 08 Agustus 2018

Renungan Ringan


Ada seorang teman lama yang bertemu dengan saya lebaran lalu. Ia bercerita banyak tentang hidupnya. Ada banyak hal yang ia ceritakan kepada saya. Pekerjaan, impian, dan tentunya hatinya yang terluka.

Saya hanya menjadi pendengar. Ia lebih banyak meluapkan kesedihan dan rasa kecewanya dari air matanya. Saya tahu ia begitu terpukul beberapa bulan ini. Setidaknya saya tahu itu karena ia sering sekali menghubungi saya saat ia sedang ada masalah.

Ia bertanya pada saya, bagaimana caranya memaafkan orang yang sudah sangat menyakiti hatinya
Saya menjawabnya singkat, “Aku ora ngerti. Dewekne jaluk ngapura?”

“Blas. Ora. Basa-basi yo ora,” jawabnya.

Meski kata maaf tidak bisa begitu saja menyembuhkan luka, mungkin ia akan sedikit terhibur jika ada kata maaf yang diucakan secara tulus. Ia berusaha memaafkan kesalahan seseorang yang bahkan sampai sekarang tidak (belum) mengucapkan kata maaf kepadanya.

Saya tidak bertanya lebih jauh tentang sosok yang membuatnya terluka. Mendengar ceritanya, saya sudah cukup paham dengan masalahnya.

Dalam hal mengelola hati dan emosi, saya merasa bahwa kawan saya lebih baik dibanding saya. Jika ia bisa memaafkan seseorang yang membuatnya terluka, saya malah sebaliknya. Saya adalah tipe pendendam yang tidak bisa begitu saja melupakan seseorang yang sudah melukai hati dan perasaan saya.

Jujur, ya. Saat saya teringat bahwa saya pernah merasa sakit karena lidah seseorang yang mahir berakrobat dan bermain silat, saya sering sekali mendoakan supaya ia diberikan umur yang panjang.
Eh, tapi jangan salah. Saya tidak sebaik itu. Saya berharap ia diberikan umur yang panjang agar saat sosok yang disayanginya mendapatkan hal yang sama persis seperti yang dilakukan olehnya pada saya, ia juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang menyayangi saya saat melihat saya terluka. Jahat sekali, kan? Iya.

Berulang kali saya berpikir seperti itu, berulang kali pula saya menepisnya. “Aduh, jangan jadi orang jahat,” nurani saya yang berbicara.

Tapi itu duuuuluuuuuuuu sekali.

Masih ada apem yang dihidangkan dalam piring keramik di depan kami. Dalam tradisi jawa, apem yang dibuat saat lebaran adalah symbol untuk kata ngapunten yang bermakna permintaan maaf. Dalam tradisi d kampung kami, bsaling memberikan apem saat lebaran, selain untuk menyambung silaturahmi juga sekaligus sebagai permintaan maaf. Maklum, kata pak ustad, manusia adalah tempatnya salah dan dosa.

Kalau tempatnya baju dan kerudung? Ya, lemari, kok.

Ups, garing? Iya. Kriuk? Iya.

Sebelum kawan saya pamit pulang, saya minta ia mencicipi apem buatan saya. dan tentunya juga saye beri nasehat pamungkas dari kata-kata Emak saya,”Jangan menyakiti jika tidak mau disakiti. Jangan melukai jika tidak mau dilukai. Ingat, kamu hanya akan menuai apa yang sudah kamu tanam. Jika kamu menanam angin, suatu saat kamu akan menuai badai. Jika kamu menumpahkan air mata, suatu saat air matamu yang akan ditumpahkan. Semesta ini bekerja sempurna, ia hanya akan mengembalikan apa yang kamu perbuat sebelumya. Karena itu, berhati-hatilah menyakiti hati seseorang jika tidak ingin suatu saat hatimu akan disakiti dengan cara yang sama pula.”

Tiba-tiba ingatan saya melesat jauh pada saat awal-awal kuliah dulu. Saya tertawa ngakak,,,kemudian tepok jidat sekencang-kencangnya.

Aduh, sakit!

Minggu, 29 April 2018

Harus Bagaimana?

Apa yang harus kulakukan?

Bukan sekali dua, Emak memintaku untuk menemui laki-laki yang bahkan aku lupa namanya. Saat ada saudara yang datang ke rumah sebagai perantara laki-laki itu untuk meminangku, aku semakin takut dengan diriku sendiri.

Ada rasa khawatir jika aku harus menjadi istri dari laki-laki yang baru kukenal. Bagaimana jika aku tidak bisa melepaskan sosok dari masa laluku?

Sampai detik ini, aku masih merindukannya. Beberapa malam belakangan, aku juga memimpikannya. Rasanya begitu rindu dengan sosoknya.

Malam ini aku kembali merindukannya. Apa lagi Emak sudah memintaku untuk bertemu lagi dengan sosok asing itu. Sosok yang bahkan sudah membuatku tidak nyaman sebelum bertemu dan mengenal pribadinya.

Gusti,,,,Allah! Piye iki?

Rabu, 25 April 2018

Untukmu yang Berusaha Mengetuk Pintu Hatiku,,,Terima Kasih

Hari ini, sebuah pemberitahuan pesan WA terdengar.

“TikTok”, terdengar keras sekali.

Bunyinya yang khas memberi tahu bahwa pesan yang masuk adalah pesan pribadi. Bukan obrolan grup yang mencapai 4000an dan belum ada satu pun yang kubaca. Lebih tepatnya tidak ada niat untuk membacanya.

Kulihat foto profil si pengirim pesan. Sosok baru yang kukenal selama beberapa bulan. Ia laki-laki yang baik. Setidaknya aku tahu itu saat ia sudah mengatakan bahwa ia ingin menjadikanku sebagai istrinya. Dalam pertemuan pertama kami, bahkan ia membawa adiknya sebagai bukti kesungguhan niatnya. Dalam pertemuan itu pula, ia memintaku untuk bersedia bertemu dengan orang tuanya di Bantul.

Mas Toro. Aku memanggilnya seperti itu. Laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit kuning langsat yang baru kukenal ini bekerja di sebuah perusahaan tol di Kota Surabaya. Kami berkenalan beberapa bulan yang lalu. Saat awal perkenalan, ia memang sudah mengatakan niatnya untuk mencari isteri. Aku tersenyum mendengar kesungguhannya.

“Apa kabar, Dik,” Ia menyapaku seperti biasa. Suaraya yang lembut terngiang di telingaku meskipun kata-kata itu hanya kubaca lewat pesan WA yang dikirimkannnya kepadaku.

“Alhamdulillah. Puji Tuhan, Baik Mas,” balasku padanya.


Kemudian obrolan kami mengalir seperti biasa. Kami saling bertukar kabar di saat ia sibuk bekerja.

“Sudah punya calon, Dik?” tanyanya kemudian.

“Haha,,,belum, Mas. Njenengan sudah ada calon?” tanyaku basa-basi.

“Alhamdulillah sudah. Insyaallah tahun ini menikah. Namanya Dyah,” ia bercerita tentang calon istrinya.

Aku tertegun membaca baris-baris pesan darinya.

“Alhamdulillah. Ikut bahagia, Mas,” kataku.

Mas Toro belum lama ini memang menyatakan niat baiknya untuk meminangku. Ia ingin menjadikanku istrinya. Menjadikanku ibu dari anak-anaknya kelak. Mungkin aku memang perempuan bodoh yang melewatkan kesempatan baik ini. Ia mengatakan niat baiknya di bulan Februari 2018. Tepat sebulan setelah aku menyadari bahwa aku sudah dibohongi oleh orang yang sangat kucintai, entah sejak kapan. Entah berapa lama.

Mas Toro setidaknya sudah mengatakan kesungguhannnya. Ia menghargaiku sebagai seorang perempuan. Ia mengajakku untuk bertemu orang tuanya di Bantul. Sebuah niat mulia yang selama ini juga sudah aku inginkan. Ajakan menemui orang tua untuk segera dipinang.

Saat itu aku belum bisa memberikan jawaban. Aku belum cukup siap untuk menikah dan menjalin hubungan dengan sosok baru. Karena itulah aku tidak memberinya jawaban yang pasti saat ia mengatakan niatnya.

Maaf, ya, Mas. Bukannya aku menolakmu atau apa. Aku memang belum siap untuk berkomitmen secepat itu. Bahkan sampai saat ini, aku belum yakin apakah aku sudah siap menikah atau belum. Masih ada luka dari masa laluku yang belum bisa kusembuhkan. Rasa marah. Kecewa. Sedih. Semua bercampur menjadi satu tanpa bisa dikatakan seperti apa dan bagaimana menyembuhkannnya.

Mas Toro sempat bertanya, “Sebenarnya kamu ada niat untuk menikah nggak, Dik?”
Pertanyaan yang dilontarkan padaku setelah aku menganggapi dingin niatnya untuk menikahiku.

“Aku belum siap, Mas. Maaf.” Kataku waktu itu.

Bagiku, keinginan untuk menikah selalu ada. Siapa yang tidak ingin membina rumah tangga dan memiliki anak-anak yang lucu? Setiap perempuan pasti mendambakannnya. Tapi harus kuakui, aku belum siap secepat itu membuka hati.

Tepat saat peringatan seminggu meninggalnya Bapak, ada juga laki-laki yang mempunyai niat yang sama dengan Mas Toro. Ia datang melalui perantara dan mengatakan hal itu pada Emakkku. Dengannya, bahkan sampai saat ini, aku belum memberi jawaban. Aku belum pernah sekali pun mencoba bertemu dengannnya atau pun mengenalnya.

Bukannnya aku tidak mau membuka hati. Aku hanya belum siap. Aku masih butuh waktu untuk menyembuhkan luka. Salah jika ada anggapan yang mengatakan bahwa aku masih berharap dengan masa laluku. Tidak. Aku tidak lagi berharap membina hubungan dengan orang yang sudah membohongiku dan menyakitiku sampai sesakit ini. Aku tahu, saat ini ia sudah bahagia dengan keluarganya. Aku bertekad tak lagi mengusiknya. Saat aku sadar sudah dibohongi dan diacuhkan selama beberapa saat, aku tahu ia  tak ingin lagi di dekatku.

Kau pernah merasakan sakitnya ditinggal menikah. Setidaknya kita pernah berbagi cerita dan berbagi beban. Meskipun kita tidak akan pernah bisa berbagi luka.

“Ikhlaskan, Dik,” katamu waktu itu. “Aku tahu bagaimana rasanya,” katamu lembut.

Aku tahu, kau adalah laki-laki yang baik. Tapi mungkin kita hanya bisa menjadi shabat. Saudara. atau kakak dan adik.

“Ternyata kita tidak berjodoh, Dik. Tapi kita tetap jadi saudara kok,” kau menutup pesan WA mu dengan kata-kata seperti itu.

“Iya, Mas. Sekali lagi selamat, ya,” kutulis balasan dengan emoticon menangis.

Aku menyertakan emoticon itu bukan karena menyesal ia sudah menemukan belahan jiwanya, tapi karena salah pencet.
Hahaha…

Untuk pernikahanmu, aku harap kau bahagia, Mas Toro. Terima kasih karena pernah mencoba mengetuk pintu hatiku. Terima kasih sudah berusaha menjadi bagian dari hidupku. Terima kasih sudah mendoakanku supaya segera duduk di pelaminan sepertimu. Terima kasih juga sudah pernah melamarku dengan kata-katamu.  Tetapi dari semua doa tulusmu, doakan aku bisa meraih semua mimpi dan keinginanku. Aku tahu, Tuhan sudah menyiapkan skenario yang terbaik untukku. Entah siapa ia. Entah dimana ia. Entah apa yang dilakukannya saat ini. Ada sosok yang sudah tertulis dalam Diary Tuhan untuk mmbuatku tersenyum dalam waktu dekat.
Amin.

Rabu, 18 April 2018

PANIK

Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah artikel tentang kebocoran data facebook. Sebenarnya ini berita lama yang sudah saya tahu dari beberapa judul artikel yang berseliweran di beranda FB. Nah, kearin saya membaca sebuah artikel yang mengatakan pesan-pesan yang dikirim lewat messengers dapat digunakan untuk kepentingan politik, dan bla…bla..bla…

Dasar saya tukang panik. Entah kenapa saya bisa begitu panik karena membaca artikel itu. Tanpa berpikir panjang, saya mulai menghapus satau-persatu pesan di msg. Sebenarnya isinya tidak terlalu penting, hanya receh-receh khas anak muda yang sedang kehilangan satu sayapnya.

Nah, barusan saya tertawa saat ingat kepanikan saya waktu menghapus pesan.
“Saya bukan artis. Bukan pejabat. Bukan politisi. Bukan pula menteri,,, kenapa harus khawatir…” pikir saya sambil tepok jidat berkali-kali.
Yang membuat saya semakin merasa bodoh dan konyol, saya sempat merasa bahwa pesan-pesan yang katanya ‘diretas’ atau apalah istilahnya bakalan dipublikasikan di sebuah media onlen.

“Wadhuh, curhat saya bakalan dibaca masyarakat Endonesa,,,” pikir saya.
Bhahaha….huahaa…parah.

Jangan tertawa! Saya pun kadang malu dengan diri saya!

Sabtu, 10 Maret 2018

Di Balik Pintu

Berada di balik pintu ini selama lima hari tidak membuat saya bahagia, malah sebaliknya. Selama lima hari itu ada banyak hal yang harus siap saya hadapi. Di tempat ini saya merasa menjadi orang yang bodoh sebodoh-bodohnya. Setiap kali ada petugas yang datang, saya hanya mengangguk dan mengatakan “Iya” atau “Tidak”. Tidak banyak penjelasan yang diberikan. Nyaris tidak ada kata-kata. Pokoknya, manut, nurut, ngikut dengan semua prosedur yang ada. Diminta ngetan, saya ngetan. Diminta ngulon, saya pun ngulon. Mirip kerbau yang dicocok hidung. Saya berada dalam kondisi yang tidak mampu lagi berfikir jernih. Semua hal saya lakukan tanpa berpikir panjang.

Karena tidak tahan dengan kondisi yang seperti itu, saya nekat menemui seseorang yang bertangung jawab di ruangan itu. No make up dan bersandal jepit, saya meminta penjelasan dengan bahasa yang halus dan sangat jelas.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya mendapat penjelasan tentang apa yang saya tanyakan.

Unbelievable. Im shocked. I don’t know what to say. Tears explained.

Jelas. detail, dan menyakitkan. Saya baru saja mendengar kepastian bahwa ada waktu yang harus saya manfaatkan sebaik-baiknya. Meski shok saat mendengar hal itu, saya berusaha menguatkan diri. Menguatkan diri untuk kemungkinan buruk yang terjadi. Saya juga harus siap dengan semua hal yang akan saya saya rasakan jika hal itu  benar-benar terjadi.
Selalu timbul pertanyaan di benak saya. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Bagaimana nantinya? dan pertanyaan–pertanyaan lain yang muncul satu persatu.

Iya. Ini tentang bapak saya.

Saya harus siap mendapatkan kenyataan bahwa hidup bapak tidak lama lagi. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, saya tahu bahwa kecil kemungkinan bapak bisa sembuh. Dokter pun hanya meminta  keluarga untuk terus berdoa karena kondisi bapak yang koma pada hari kedua perawatan.

Benign neoplasm of bronchus and lung.

Begitulah diagnosa  penyakit bapak. Dokter menyatakan bahwa paru-paru bapak bermasalah. Ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Kemungkinan yang pertama adalah cairan di paru-paru bapak. Kemungkinan kedua adalah benjolan di paru-paru bapak.

Hari kedua bapak dirawat, suhu tubuhnya mencapai 39,50 celcius. Pada hari sabtu sebelum bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir, suhu tubuh bapak bahkan menjacapai 41,60 celcius. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali bapak kejang dalam suhu tubuh seperti itu.

Saya kembali menanyakan alasan suhu bapak yang selalu tinggi sejak hari kedua perawatan.

“Penyakitnya sudah sampai otak, Mbak. Juga ada indikasi infeksi,” begitu kata perawat.

Tidak puas, saya pun googling.  Ternyata benar. Infeksi pada penyakit seperti ini menyebabkan panas tinggi dan kejang.

Penyakit pada paru-paru bapak bukanlah satu-satunya penyakit yang diderita oleh alm bapak. Bapak memang tidak bisa dikatakan sehat selama lima tahun terakhir. Dua tahun pertama dari lima tahun itu, bapak menderita kerusakan syaraf pada otaknya. Bapak sering kali lupa dengan apa yang dilakukan. Awal-awal ia sakit, ia pernah makan dengan centong nasi. Mungkin bapak mengira centong sebagai sendok. Beberapa peralatan dapur banyak yang berpindah tempat. Saya sering menjumpai sendok maupun gelas di tempat tidurnya. Bahkan saya pernah melihat Bapak lupa caranya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Yang paling parah, bapak pernah lupa jalan ke rumah saat pulang dari ladang. Dan itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Selama itu, beberapa kali Bapak dibawa berobat. Kami, anak-anaknya khawatir jika bapak mengalami sakit mental seperti yang dibicarakan oleh tetangga. Dari pengobatan itulah akhirnya diketahui bahwa penyakit bapak disebabkan oleh kerusakan pada sistem syaraf otaknya. Setelah pengobatan itu, suatu hari bapak terjatuh di rumah. Kaki bapak sedikit biru, tapi masih bisa berjalan. Beberapa hari kemudian, bapak kembali terjatuh saat berlari untuk menolong ponakan yang mengangis. Stroke. Bapak stroke total setelah itu.

Bapak stroke hampir tiga tahun. Selama tiga tahun itu, saya dan emak harus membantu semua aktivitas Bapak. Saya lah yang selalu memotong rambut, kuku maupun kumis bapak. Dalam kondisi stroke dan ingatan yang semakin memudar, ia sering menangis dengan alasan yang tidak jelas. Ia lupa dengan nama saya. Ia lupa dengan segala hal yang berkaitan dengan hidupnya. Satu hal yang tidak pernah ia lupa, namanya.

Semakin hari, bapak juga semakin sulit diajak berkomunikasi. Banyak dari pertanyaan saya yang tidak dijawab dengan jawaban yang semestinya. Ia akan menjawab “Dereng maem,” kepada siapa pun yang bertanya padanya meski pada saat itu ia sedang saya suapi.
Bapak memang sosok yang kasar selama mudanya. Tapi itu bukan alasan bagi saya untuk lupa dengan seabrek kebaikan bapak pada saya. Bapak begitu sayang dengan saya. Kasih sayang seorang bapak terhadap anaknya adalah kasih sayang tanpa syarat. Bapak selalu mendukung saya untuk menjadi juara kelas. RPAL, RPUL, KBJ, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris 7 Milyar kata pun saya punya. Memang sudah dedel-duel, tapi memang kenyataanya bapaklah yang mengenalkan saya dengan buku sejak SD.

“Sregep sinau, yo. Tak tokokno buku nek intuk juara kelas,” begitu kata-kata yang diucapkan pada saya agar selalu termotivasi dalam belajar.

Saya masih ingat. Tahun 1996, saya masuk TK. Dalam gendongan bapak, saya meronta dan menangis minta pulang. Tapi Bapak masih saja sabar membujuk saya sampai akhirnya saya berani masuk kelas waktu itu.

Bapak adalah orang pertama yang mengajari saya aksara jawa. Bapak adalah orang pertama yang mengajari saya menghitung weton kelahiran saya sendiri. Saya pernah diajari rumus menghitung neptu lahir, jati ngarang, dan hari baik. Bahkan saat SMP saya diajari rumus untuk menghitung peringatan 7 hari sampai 1000 hari orang meninggal.
Alm. bapak memang sosok yang istimewa. Saat masih sehat, ia pandai berburu hewan liar di sekitar ladang. Saat masih SD, saya sering ikut berburu dan diajari membuat jebakan burung atau ganggrangan (iki bahasa indonesiane opo, yo?). Bapak juga selalu menggendong saya pada punggungnya yang basah oleh keringat  saat ia nglempir untuk membuat genting.

Beruntung sekali teman-teman yang masih diberikan kesempatan untuk berbakti pada orang tua. Saya sendiri ragu, apakah selama ini saya sudah berbakti pada bapak? Berulang kali saya mengucap maaf saat bapak terbaring di rumah sakit. Saya mengucap maaf untuk kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan pada bapak.

“Maaf Bapak, belum bisa membuatmu bangga.”

Bapak meninggal tepat di hari sabtu, 24 Februari 2018 pukul 12.00 siang pada usia 66 tahun. Saya beruntung karena bapak pergi dalam dekapan saya. Saya membisikkan syahadat di saat-saat terakhir hidup bapak. Saya bahkan nekat naik ke ranjang bapak untuk memeluknya dan menangis seperti orang yang hilang akal di saat-saat terakhirnya.

Kematian adalah kepastian untuk setiap makhluk Tuhan. Tuhan memberikan kematian kepada makhlukNya agar manusia senantiasa sadar bahwa itulah akhir dari kisah hidupnya di masa depan. Kematian bukanlah peristirahatan terakhir, tapi awal dari kehidupan yang tiada akhir. Saya dan juga Njenengan harus bercermin dari sekarang. Selalu memperbaiki kesalahan dan berbuat baik sebagai bekal menemui Tuhan.  Memaafkan seseorang yang telah menyakiti adalah bagian yang tersulit. Meski sulit, lakukan. Karena pada dasarnya, hanya kematian yang tidak memiliki jalan pulang.

Bagi saya, bagian terberat dari sebuah perjalanan adalah perpisahan. Setiap perpisahan pasti akan meninggalkan bekas yang tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Tidak hanya bagi saya, kehilanagan orang yang disayangi bukanlah hal yang mudah. Ada banyak kenangan yang tertanam dalam benak setiap orang yang ditinggalkan.

Sebenarnya ini nasehat untuk saya sendiri. Berhati-hatilah menulis kenangan, karena ia mampu menjadi bagian dari kepingan-kepingan puzzle dalam skenario hidup orang lain. Berhati-hatilah menulis kenangan, karena ia mampu menjadi luka yang tidak mudah disembuhkan dalam waktu yang tidak terbilang.

Saya memohonkan maaf untuk semua kesalahan yang dibuat oleh bapak selama beliau masih hidup. Sudah lama sekali bapak tidak berinteraksi dengan tentangga dan saudara jauh maupun dekat. Mohon maafkan jika bapak saya memiliki kesalahan di masa hidupnya. Doakan agar bapak saya mendapatkan pengampunan dosa, dilapangkan, diluaskan dan diterangkan kuburnya.

Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah memberikan dukungan emosional kepada saya dan keluarga. Maaf kemarin tidak bisa menemui teman-teman yang datang ke rumah untuk takziah. Semoga Tuhan membalas kebaikan teman-teman semua.
Death bring pain that only time can heal. It feels unfair. But, we have to remember, God always give us trial happening based on our ability. God always have best reason why it happens to us. So, don’t worry, everything has going to be better. Two weeks ago, I lost one of my biggest guide in life. Goodbye, Bapak. Heaven is yours.

Innalilahi wa innailaihi rojiun. Lahul Faatihah…

Senin, 12 Februari 2018

Begitu Asingkah Kita dengan Perbedaan?

Membaca berita tentang penyerangan di Gereja St Lidwina Bedhog, Trihanggo, Sleman, Yogyakarta, membuat saya benar-benar miris. Serangan oleh pria berpedang ini setidaknya membuat lima orang terluka, termasuk Romo Karl Edmund Prier yang merupakan pemimpin misa minggu pagi itu.

Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Brigjen Pol. Ahmad Dofiri menyatakan bahwa kasus ini tengah diselidiki oleh polisi. Peristiwa pada Minggu pagi itu berawal ketika pelaku masuk ke gereja melalui pintu barat dan menyerang seorang jemaat bernama Martinus Parmadi Sudiantoro. Belakangan diketahui bahwa pelaku penyerangan bernama Suliyono yang berasal dari Banyuwangi, Jawa timur. Sampai saat saya membuat tulisan ini, motif pelaku melakukan penyerangan masih belum jelas. Meskipun pelaku saat ini sudah diamankan oleh polisi dan menjalani perawatan di RS. Bhayangkara, saya tetap saya masih merasa geram.

Atau masih ingatkan dengan pengusiran Biksu Mulyanto Nurhalim di Tangerang yang kemudian dipaksa membaca sebuah surat perjanjian di hadapan warga yang mayoritas adalah warga yang seiman dengan saya?

Jika Njenegan mau melihat cuplikan videonya, sila klik di sini. Atau jika Njenengan merasa eman-eman dengan kuota, saya kutipkan sidikit isinya.

“…Pada hari ini, tanggal 4 Februari 2018 sampai hari Sabtu, tanggal 10 Februari 2018. Dan saya pun berjanji untuk tidak melakukan ritual atau ibadah dan melakukan kegiatan yang bersifat melibatkan warga umat Budha yang menimbulkan keresahan warga Desa Babat. Apabila d kemudian hari saya melanggar surat perjanjian ini, maka saya bersedia diproses sesuai hokum yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan tidak ada tekanan dari pihak manapun dan dalam keadaan sehat jasmani rohani…”

Dari artikel yang saya baca, ternyata Biksu Mulyanto Nurhalim adalah warga asli Desa Babat. Bahkan biksu Mulyanto Nurhalim juga berKTP di Desa Babat, yang artinya bahwa Biksu Mulyanto juga berhak tinggal dan melakukan ritual ibadahnya di rumahnya sendiri.

Mengapa kita menjadi begitu egois?

Saya juga seorang muslim. Tapi melihat bahwa masih ada orang yang dengan seenaknya melarang umat beragama lain untuk beribadah di rumahnya sendiri, benar-benar membuat saya malu. Apakah hanya umat Islam yang diperbolehkan beribadah di rumahnya sendiri sementara umat beragama lain tidak?

Sebagai seorang muslim yang sering (hampir selalu) beribadah di rumah, saya merasa bahwa apa yang diperbuat pada Biksu Mulyanto Nurhalim adalah ketidak adilan. Bagaimana tidak? Sebagai agama mayoritas di negeri ini, dengan seenaknya kita melakukan persekusi terhadap umat agama lain untuk beribadah di rumah sendiri. Dimana nurani kita? Sebegitu lemahkah iman kita sampai-sampai khawatir bahwa kita akan berbalik arah dari Tuhan hanya karena menyaksikan umat lain baribadah? Atau sebegitu rapuhkah iman kita hingga takut mendengar nyanyian, patung, dan segala atribut keagaaman umat lainnya?

Saya juga muslim, tapi saya benar-benar menyayangkan kejadian itu. Seandainya keadaan dibalik, bagaimana perasaan kita jika kita dilarang melakukan ibadah di rumah sendiri? Sakit, bukan?

Jika kita menelisik lebih jauh lagi ke belakang, banyak sekali ditemui kisah-kisah seperti dua kisah yang saya sebutkan barusan.

Banyak orang yang tersulut amarah dengan peristiwa ini. Banyak pula yang mengaitkannnya dengan isu-isu sara yang saat ini sedang marak disebarkan di media. Jika Njenengan termasuk salah satu anggota Grup Facebook terbesar di Jogja, tentunya Njenengan semua tahu bagaimana tanggapan masyarakat umum tentang peristiwa seperti ini. ada yang bijak berkomentar, tapi tak sedikit pula yang tersulut emosi dan membawa isu-isu sara dalam postingan komentarnya.

Begitu asingkah kita dengan keberagaman? Apakah kebebasan beragama yang diatur oleh Pancasila dan UUD 1945 memang sudah tidak berlaku di Indonesia?

Dewasa ini, toleransi yang katanya dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, perlahan mulai luntur. Pandangan ini setidaknya dilatar belakangi oleh semakin meruncingnya hubungan antar umat beraga di Indonesia sejak dijadikan sebagai kendaraan politik pada Pilgub Jakarta lalu. Terkadang sekelompok orang yang mempunyai kepentingan akan memanfaatkan keberagaman umat beragama untuk mencapai apa yang mereka inginkan.

Sebagai generasi yang (katanya) penerus bangsa, ayolah, kita mulai dari diri sendiri untuk stop debat agama. Stop berbicara dan berpendapat seolah-olah bahwa kita dan pendapat kita yang paling benar. Agama adalah topik yang sangat sensitif karena menyangkut dengan Tuhan. Perbedaan pendapat tentang Tuhan inilah yang harus kita hargai.
Entah Njenengan beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, atau Budha, saya yakin bahwa setiap agama yang kita anut selalu mengajarkan kebaikan. Agama bukan diciptakan untuk membuat diri menjadi paling benar, bukan?

Saya sendiri memiliki banyak teman yang berbeda keyakinan dengan saya. Saya tumbuh di lingkungan yang mengajarakan keberagaman. Masjid dan gereja bukanlah sesuatu yang asing dengan saya. Kalau kelenteng dan pura, memang sedikit asing, karena di tempat saya tidak ada.

Stop mengkoreksi agama lain yang bukan agama kita. Mulai belajar bahwa hal itu bukanlah kapasitas kita untuk berkomentar untuk Tuhan dan keyakinan orang lain. Kalau kata emak, riskan.

Tapi yang terjadi di sekitar saya, tidak banyak orang yang mampu menghilangkan semua sekat perbedaan pandangan tentang Tuhan. Perbedaan budaya, moral, agama dan politik tentunya berpengaruh dalam penerimaan terhadap hal ini.

Njenegan pernah mendengar istilah backfire effect? Kalau belum, saya jelaskan sedikit. Backfire effect adalah gejala psikologis yang biasanya terjadi dalam setiap opini, saat kita sebagaimana manusia mengkoreksi  pandangan hidup, agama, dan keyakinan orang lain. Jika kita mau berfikir jernih, backfire effect sama saja dengan menyerang orang lain secara fisik. Dan tentu saja orang yang diserang akan bertahan dan balik menyerang.
Saya tidak akan mengatakan bahwa Njenengan harus meyakini A, B, atau C terhadap suatu hal. Saya juga tidak akan mengubah perspektif dan pandangan hidup orang lain. Tidak ada salahnya jika kita berusaha untuk berubah dan merubah pandangan terhadap orang lain yang memiliki perbedaan pandangan dengan kita.

Pada akhirnya, agama yang terbaik adalah agama yang keimananya ditemukan dan dirasakan, bukan karena diturunkan by default oleh orang tua. Mari kita mulai dari diri sendiri. Lakukan dari hal yang sederhana. Tidak ada yang salah dengan banyaknya perbedaan di antara kita. Biarkan perbedaan itu tetap ada karena Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. So, it’s okay to stop, it’s okay to listen, then it’s okay to change.

https://tirto.id/motif-penyerangan-gereja-st-lidwina-sleman-masih-belum-jelas-cECg
https://solusik.com/kerukunan-toleransi-antar-umat-beragama/
https://mobile.twitter.comMProjo2019ref_src=twsrc%5Etfw&ref_url=https%3A%2F%2Fmojok.co%2Fredaksi%2Fkomen%2Fstatus%2Fkisah-di-balik-alasan-biksu-mulyanto-diusir%2F

Kenangan dalam Buah Anona Squamosa

Anona Squamosa atau oleh masyarakat tempat saya tinggal disebut dengan buah sirikaya, adalah buah yang saat ini sedang ledoh di daerah Gunungkidul. Situ tidak tahu arti kata ledoh? OK, saya jelaskan dulu, yes. Ledoh adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Tanjungsera untuk menyatakan jumlah yang sangat banyak. Mbludak-mbludak, lah!

Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, buah sirikaya di tempat saya tahun ini benar-benar panen besar. Kenapa saya sebut panen besar? Ya, karena hampir setiap pohon pasti berbuah lebat. Sila berkunjung ke pantai-pantai di daerah Tanjungsera-Tepus, di sepanjang jalan menuju kawasan wisata pantai, pasti banyak dijumpai pedagang yang menjual buah ini dalam keranjang plastik dengan harga yang bervariasi.

Sebenarnya, jika wisatawan mau repot sedikit dengan masuk kampung dan membeli langsung dari petani, wah, perbedaan harganya cukup lumayan, lho!

Sssttt…tapi ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa kalau saat ini harga buah sirikaya di Gunungkidul benar-benar miring, bahkan ambrol.

Beberapa pohon sirikaya yang ada di pekarangan saya berbuah sangat lebat. Belum lagi pohon-pohon sirikaya yang tumbuh di ladang. Minggu yang lalu, emak panen buah sirikaya. Cukup banyak daripada beberapa tahun sebelumnya. Disebut melimpah juga tidak apa-apa ding. Toh, memang minggu-minngu ini saya disuguhi buah sirikaya saat di rumah maupun saat main ke rumah teman.

Entah kenapa, buah sirikaya selalu mengingatkan saya dengan kenangan seperti halnya buah rambutan. Kenangan yang saat ini ingin sekali saya hapus secara permanen dari hidup saya. Tapi mustahil, bukan? Bagi saya, kenangan adalah bagian dari hidup saya. Setengah dari beberapa kepingan puzzle yang menjadikan cerita dalam hidup saya terangkai sempurna.

Saat ini, Tuhan sedang menyentil saya sekeras-kerasnya. Membangunkan saya secara paksa dari impian yang selama ini dibangun dengan pondasi yang salah. Saya telah menitipkan kepercayaan pada orang yang salah. Selama bertahun-tahun saya percaya tanpa ragu sedikitpun untuk setiap ucapannnya.

Yang membuat saya benar-benar terpukul, saya masih saja sms berkali-kali meski dia tidak membalas semua pesan saya. Saya selalu berfikir bahwa saya membuat kesalahan yang membuat wa saya diblokir berbulan-bulan. Dalam hati, saya yakin bahwa saya membuatnya jengkel seperti sebelum-sebelumnya. Akhir Desember 2017, dengan polosnya saya masih sms. Meminta sesuatu yang pernah kami rencanakan sebelumnya.
Jika saya ingat bahwa saya pernah benar-benar percaya, bahwa saya masih saja percaya di saat dia sudah kembali pada kehidupan lamanya, saya benar-benar merasa sakit sesakit-sakitnya.

Setidaknya, ada dua janji yang diucapkan pada saya. Kedua janji itu dibuat olehnya, tapi diingkari juga olehnya. Saya masih sangat ingat, ada beberapa hal-hal sederhana yang pernah diucapkan pada saya. Bahwa dia tidak suka makan dengan sayur bening, juga tetangnya yang lebih suka makan nasi daripada bakso saat jalan-jalan. Kata-kata sederhana seperti ini tidak pernah saya lupa. Apa lagi untuk dua janji yang diucapkannnya dan berkaitan dengan hidup saya. Bagaimana bisa saya lupa?

Janji tetaplah janji. Selama saya masih bernafas, janji itu akan tetap saya pegang. Suatu saat, Tuhan akan mengingatkan atau bahkan meminta tanggung jawabnya untuk janji itu. Saya tidak tahu dia menyesal atau tidak saat membuat hidup saya berantakan. Saya tidak tahu apakah ia pernah memikirkan hidup saya setelah sekian lama waktu yang kami lalui bersama.

Jika boleh jujur, saya sangat tersiksa akhir-akhir ini. saya tidak pernah bisa berhenti memikirkan apa yang dia lakukan pada saya. Berkali-kali saya mencari kesibukan agar saya lupa jika saya sudah dibohongi. Berusaha menghibur diri bahwa ia memang bukan lagi ‘dia’ yang saya kenal tujuh tahun yang lalu.

Iya. Saya mulai menerima keadaan bahwa ia mungkin hanya salah satu nama yang menjadi bagian dari kenangan saya. Meski begitu menyakitkan, setidaknya saya bisa tahu satu hal. Ia memang tidak pernah menempatkan saya sebagai bagian dari hidupnya.
Saya bersyukur bisa belajar dari kenangan. Dibohongi itu benar-benar menyakitkan. Sekarang saya tahu bahwa kesalahan selalu memberikan pembelajaran. Bahagia di atas air mata orang lain adalah rasa sakit yang tertunda. Seharusnya saya sadar sejak dulu, bahwa pada akhirnya, Tuhan lah yang selalu memegang kendali.

Manut,,,manut!! Patah satu tumbuh seribu!

Kamis, 08 Februari 2018

Mimpi Sederhana

Setiap orang pasti memiliki impian dalam hidup mereka. Entah itu impian yang menyangkut dirinya sendiri, entah impian yang menyangkut orang lain. Tidak ada yang salah ketika seorang bermimpi. Ada orang-orang yang begitu berani dalam mimpi mereka, namun ada juga yang hanya menganggap impian sebagai keinginan semata.

Sampai pada titik ini tidak ada yang berbeda dalam setiap impian yang dimilki, bedanya ada pada cara meraihnya.

Jika kau bermimpi, maka berusahalah untuk mimpimu. Kejar ia sampai impian itu benar-benar kau genggam di tanganmu.

Tahukah kau tentang novel 'Laskar Pelangi'nya Andrea Hirata?

Iya. Novel itu begitu memegahkan jiwa. Bagaimana tidak, seorang Arai dan Ikal dengan segala keterbatasannya, tapi akhirnya mampu meraih mimpi mereka. Sebuah mimpi yang bahkan sangat mustahil menjadi kenyataan untuk orang-orang yang tidak berani bermimpi seperti Arai dan Ikal.

Mimpi adalah keberanian. Tidak banyak orang yang berani bermimpi dan meraihnya.

Percayalah dengan dirimu sendiri. Raih mimpimu. Wujudkan keinginanmu. Ingatlah, bahwa Tuhan seperti apa yang kita pikirkan. Jika kita yakin, Tuhan pasti mengabulkan.

Your destiny come from your mind. Bahwa takdir itu, tergantung bagaimana kita meyakini bahwa kita mampu melakukannya.

Tidak usah khawstir dengan semua persoalan yang ada. Tidak usah khawatir dengan hidupmu. Cukup satu hal yang kau yakini, 'ini hidupmu, ini mimpimu', maka kejarlah mimpi selagi kau bisa.

Guys, remember this, " When you focus on your problems, you'll have more problems. When you focus on possibilities, you'll heve more opportunities,"

Have a nice day, yes!


Tugas Akhir Pembatik Level 4 Tahun 2023

Hei...hei...hei...Sahabat Teknologi Yogyakarta tahun 2023. Bagaimana nih, progres tugas akhir PembaTIKnya? Hari ini tenggat terakhirnya, loh...