“Permen ini terlalu manis hingga terasa pahit,”
Kalimat ini terdengar sangat familiar bukan?
Ya, iyalah. Itu adalah sepotong kalimat yang diucapkan oleh Go Dong Mae kepada penjual permen yang menawarinya permen perancis dalam episode kedelapan drama Mr. Sunshine. Lugasnya, segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Terlalu manis, terlalu pahit, terlalu asin, terlalu banyak, terlalu…terlalu…terlalu percaya.
Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat berharga untuk sebagian orang. Sebagian lain, menganggapnya sebagai bahan candaan yang bisa dimainkan sesuai keadaan. Unfortunately, saya mengalami yang kedua. Dan ini serius. Sakit.
Seorang teman pernah menitipkan amanah pada saya untuk menjaga novel Laskar Pelanginya Andrea Hirata yang saya pinjam darinya. Tapi dasar saya saja yang tidak bisa menjaga amanah. Tidak bisa menjaga keercayaan. Novel itu kembali bertahun kemudian dalam keadaan yang dedel duel. Sampulnya ilang. Lemnya berantakan.
Eh, tapi jangan salah. Saya ragu ia membeli novel yang asli. Lha wong kertasnya butek. Udah gitu, lemnya juga mbregedel. Mau awet dari mana coba? So, saya juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi, ya, saya akui saya salah. Meskipun teman saya sempat marah, ia akhirnya memaafkan kesalahan saya. Toh, ia juga meminjam buku saya dari tahun 2013 dan sampai sekarang belum dikembalikan. Buku setebal lima ratusan halaman brooo,,,mau diminta, nggak enak. Nggak diminta kok yo eman.
Lain cerita, saat saya esempe, pernah ada penggalangan dana untuk perbaikan gitar kayu yang bahkan tidak menyerupai bentuk gitar beneran. Kalo senarnya dipetik, boro-boro mau bunyi jreng,,,jreng,,,jreng, lha wong malah berbunyi gruk,,,gruk,,,gruk,,alis tidak bisa berbunyi sama sekali. Saya selalu tertawa saat mengingat moment ini. Tapi saya salut dengan pak guru musik saya, beliau cukup ‘kreatif’ membuat kami mengenal nada A, D, E, sampai Z dengan gitar antik bersenar enam yang tidak bisa berbunyi itu. Maha suci gitar dengan segala harapan palsunya.
Entah bagaimana kabar gitar legendaris itu sekarang? Kalopun gitar antik itu masih digunakan, apa anak esempe saat ini bisa berimajinasi liar seperti angkatan kami dulu? Pegang balok kayu dengan panjang sekitar 50an cm, tapi mampu membuat kami merasa keren bak Eros Sheila On7 saat mengiringi Duta menyanyi lagu “Seberapa Pantas”. Oh, benar-benar the power of imagination.
saya tidak yakin generasi sekarang bisa bersabar memegang balok kayu sekaligus berimaginasi dengan cukup tinggi. Mentok, mereka akan tersenyum sambil berujar, “Iki kih buronan opo, sih?”
Saya lebih yakin mereka akan mengunduh aplikasi alat music dari play store. Butuh gitar? Play store. Butuh piano? Play store. Butuh drum? Play stor. Pingin jadi penyanyi? Play store.
Untung saja mereka tidak bermain band dengan memegang ponsel masin-masing. Kalo iya? Bayangkan sendiri, kok! Mosok saya juga harus menuliskannya untuk Njenengan. Penakmen!
Zaman memang telah berubah. Segala sesuatu bisa didapatkan dengan lebih mudah, minus calon suami. Jangankan alat musik, lha wong kendaraan pun bisa diunduh lewat play store kok. Saya bahkan pernah jadi sopir truk baru-baru ini. Serius. tapi ya, itu tadi. Play store.
Oh, iya. Kembali lagi. Seperti lazimnya gitar beneran, gitar kayu itu pun juga butuh kasih sayang dari kami. Terlalu banyak tangan yang memegang, membuatnya butuh peremajaan senar. Senar pancing. Iya, mirip senar pancing. Dulu, saya melipatkan jumlahnya pada saat meminta uang pada bapak. Bapak memberikan tanpa bertanya. Lalu, dimna masalahnya?
Bentar to,,, sabar.
Masalah itu baru muncul saat tetangga saya yang anaknya juga sekelas dengan saya bercerita bahwa ia dimintai uang untuk perbaikan gitar antik itu. Dan cetho buto, jumlahnya berbeda dengan milik saya. Emak bertanya pada bapak. Bapak menjawab jujur. Cep klakep, saya mungkret.
Pulang sekolah, emak nggedumel tapa henti. Ceramah panjang dari A-Z. Dibilang ini, dibilang itu, dan bla…bla…bla..
Dan Njengan tahu bagaimana akhirnya, setiap kali ada iuran dari sekolah, Emak tidak lagi percaya dengan saya. Ia selalu bertanya kepada tetangga saya untuk melihat kejujuran saya.
Kejadian itu sudah bertahun berlalu, tapi sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Mungkin emak sudah lupa, tapi tidak dengan saya. Saya tipikal orang yang tidak bisa melupakan apa pun begitu saja. Hal-hal yang menyenangkan atau sebaliknya, akan terekam dengan jelas dalam memori saya dalam waktu yang lama. Begitulah, terkadang ada hal-hal yang hanya bisa dimaafkan namun tak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Dalam hal memaafkan, saya tipikal yang buruk sekali. Untuk satu hal ini, saya masih berusaha seikhlas mungkin. Belajar dari Om Goenawan Muhammad, “Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future”.
Selalu ada sisi positif dari setiap kejadian. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kesalahan. Kepercayaan itu memang terkesan sederhana. Saya pernah membohongi orang tua, Akibatnya, emak tak lagi percaya pada saya meskipun saya sudah berkata sejujur-jujurnya. Saya sadar, ada harga yang mesti dibayar mahal saat tidak kepercayaan itu sudah hilang.
Percayalah, tidak ada kepercayaan yang dihargai dengan murah.
Udah, pingin cerita gitu saja. Oh, iya, abaikan saja foto trio ubur-ubur itu. Sungguh tak ada faedahnya melihat foto itu. Kenapa? Karena dua orang d kiri dan kanan saya telah menikah dan hidup bahagia dunia-akhirat dengan pasangan masing-masing. Tinggal yang tengah,perhatikan baek-baek. Itu foto saya, belum ada yang punya. Haha,,,
Mohon maaf karena membuat dua menit Panjenengan terbuang percuma.
Matur nuwun untuk waktunya.