Postingan Populer

Kamis, 17 Oktober 2019

Sepatu mBah Karyo



mBah Karyo punya sepatu. Hanya dua, tapi bukan dua pasang, melainkan dua biji. Itu pun sebelah kiri. Warnanya berbeda. Bekas pula!! Yang satu merah bata, yang satu hijau tua. Kemanapun ia pergi, sepatu itu selalu menemani. Ia tak peduli anggapan orang, ia tak peduli ledekan orang!

Baginya, sebelah kiri semua atau sebelah kanan semua, meskipun bekas saja, meskipun berbeda warna,  nilainya tetap sama. SEPATU! DIPAKAI DI KAKI! Belum pernah ada sejarah yang mencatat bahwa sepatu dipakai di dada, apalagi di kepala. Karenanya, mBah Karyo santai saja. Urusan sepatu tak masuk dalam long list pikirannya. Ia hanya berpikir, entah benar, entah salah, itu semua hanya pandangan orang. Semua tergantung kebiasaan, tapi sesuatu yang dibiasakan bukan berarti benar.

Jika memakai sepatu sebelah kiri semua itu salah, apakah orang lain akan dirugikan dengan sepatu yang dipakainya? Jika memakai sepatu sebelah kiri semua itu salah, apakah  orang lain akan merasa terganggu karenanya? Toh, ketika kaki mBah Karyo lecet-lecet, berdarah-darah sampai akhirnya perih dan terluka, mBah Karyo sendiri yang merasakannya. Toh, mBah Karyo sendiri yang membeli obat  dan mengobati luka di kakinya!

Beberapa waktu berlalu, gaplek dan semua persediaan jagungnya sudah habis ditukar dengan "Pil Pluru" untuk mengobati luka di kakinya. Akhirnya mBah Karyo pilih nyeker saja. Sepatu itu digantung di depan rumahnya, berharap ada orang lain yang bersedia menukarnya dengan sebodak gaplek. Dia berpikir, sepatu beda warna itu terlalu mewah untuk kakinya.

Sebuah Renungan

Saya sering sekali termenung akhir-akhir ini. Pikiran saya sering kali melihat jauh pada masa lalu yang sudah terlewati, lima belas tahun yang lalu. Saya merasa sudah sangat jauh melangkah. Lima belas tahun lalu, ketika saya masih duduk di kelas 3 SD, ada banyak hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Waktu itu, dalam benak saya hanya ada dua kata, main dan jajan.
.
Saya  tidak menyangka bahwa Tuhan menulis dalam Diary-Nya, bahwa saat ini saya bisa berada dalam situasi seperti ini. Dulu saya pernah membenci  kakak kelas saya waktu SD, eh, malah sekarang saya beteman baik dengan dia. Dulu, saya pernah berteman baik dengan banyak orang (teman-teman sekelas) tapi sekarang mereka sudah sangat jauh dari saya. Saya tidak pernah menyangka bahwa “A good Book…” yang pernah saya lontarkan pada seseorang, akan menjadi bumerang bagi diri saya sendiri. Semuanya benar-benar terjadi diluar dugaan saya. Semua itu membuat saya sadar bahwa Tuhan mampu berbuat sekehendak Dia.
.
Sekarang, setelah lima belas tahun berlalu, saya merasa bahwa saya tidak ingin menjadi dewasa. Bukannya saya takut mati. Bukan itu maksudnya!  Saya hanya tidak mau merasa bahwa saya mempunyai persoalan yang belum terselesaikan. Ada banyak hal yang ada dalam benak saya saat ini. Rasanya sudah seperti bisul mau pecah. Cenut…cenut…kadang-kadang, cenot…cenot….
.
Apakah saya menyesal dengan semua yang pernah saya jalani? Tidak juga. Ini bagian hidup saya. Bagian dari cerita yang ditulis Tuhan untuk saya. Bagian dari Diary Tuhan yang tak saya tahu alurnya seperti apa. Bagaimana dengan mimpi? Apakah saya berani bermimpi? Kalau kata Arai dalam Mozaik 15nya Andrea Hirata, mengatakan seperti ini, “…orang-orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu….tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…”.
.
Kata-kata Arai berbanding terbalik dengan saya. Jika Arai akan mati tanpa mimpi, justru saya mati karena pernah terlalu banyak bermimpi.

Tugas Akhir Pembatik Level 4 Tahun 2023

Hei...hei...hei...Sahabat Teknologi Yogyakarta tahun 2023. Bagaimana nih, progres tugas akhir PembaTIKnya? Hari ini tenggat terakhirnya, loh...