Postingan Populer

Sabtu, 10 Maret 2018

Di Balik Pintu

Berada di balik pintu ini selama lima hari tidak membuat saya bahagia, malah sebaliknya. Selama lima hari itu ada banyak hal yang harus siap saya hadapi. Di tempat ini saya merasa menjadi orang yang bodoh sebodoh-bodohnya. Setiap kali ada petugas yang datang, saya hanya mengangguk dan mengatakan “Iya” atau “Tidak”. Tidak banyak penjelasan yang diberikan. Nyaris tidak ada kata-kata. Pokoknya, manut, nurut, ngikut dengan semua prosedur yang ada. Diminta ngetan, saya ngetan. Diminta ngulon, saya pun ngulon. Mirip kerbau yang dicocok hidung. Saya berada dalam kondisi yang tidak mampu lagi berfikir jernih. Semua hal saya lakukan tanpa berpikir panjang.

Karena tidak tahan dengan kondisi yang seperti itu, saya nekat menemui seseorang yang bertangung jawab di ruangan itu. No make up dan bersandal jepit, saya meminta penjelasan dengan bahasa yang halus dan sangat jelas.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya mendapat penjelasan tentang apa yang saya tanyakan.

Unbelievable. Im shocked. I don’t know what to say. Tears explained.

Jelas. detail, dan menyakitkan. Saya baru saja mendengar kepastian bahwa ada waktu yang harus saya manfaatkan sebaik-baiknya. Meski shok saat mendengar hal itu, saya berusaha menguatkan diri. Menguatkan diri untuk kemungkinan buruk yang terjadi. Saya juga harus siap dengan semua hal yang akan saya saya rasakan jika hal itu  benar-benar terjadi.
Selalu timbul pertanyaan di benak saya. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Bagaimana nantinya? dan pertanyaan–pertanyaan lain yang muncul satu persatu.

Iya. Ini tentang bapak saya.

Saya harus siap mendapatkan kenyataan bahwa hidup bapak tidak lama lagi. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, saya tahu bahwa kecil kemungkinan bapak bisa sembuh. Dokter pun hanya meminta  keluarga untuk terus berdoa karena kondisi bapak yang koma pada hari kedua perawatan.

Benign neoplasm of bronchus and lung.

Begitulah diagnosa  penyakit bapak. Dokter menyatakan bahwa paru-paru bapak bermasalah. Ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Kemungkinan yang pertama adalah cairan di paru-paru bapak. Kemungkinan kedua adalah benjolan di paru-paru bapak.

Hari kedua bapak dirawat, suhu tubuhnya mencapai 39,50 celcius. Pada hari sabtu sebelum bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir, suhu tubuh bapak bahkan menjacapai 41,60 celcius. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali bapak kejang dalam suhu tubuh seperti itu.

Saya kembali menanyakan alasan suhu bapak yang selalu tinggi sejak hari kedua perawatan.

“Penyakitnya sudah sampai otak, Mbak. Juga ada indikasi infeksi,” begitu kata perawat.

Tidak puas, saya pun googling.  Ternyata benar. Infeksi pada penyakit seperti ini menyebabkan panas tinggi dan kejang.

Penyakit pada paru-paru bapak bukanlah satu-satunya penyakit yang diderita oleh alm bapak. Bapak memang tidak bisa dikatakan sehat selama lima tahun terakhir. Dua tahun pertama dari lima tahun itu, bapak menderita kerusakan syaraf pada otaknya. Bapak sering kali lupa dengan apa yang dilakukan. Awal-awal ia sakit, ia pernah makan dengan centong nasi. Mungkin bapak mengira centong sebagai sendok. Beberapa peralatan dapur banyak yang berpindah tempat. Saya sering menjumpai sendok maupun gelas di tempat tidurnya. Bahkan saya pernah melihat Bapak lupa caranya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Yang paling parah, bapak pernah lupa jalan ke rumah saat pulang dari ladang. Dan itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Selama itu, beberapa kali Bapak dibawa berobat. Kami, anak-anaknya khawatir jika bapak mengalami sakit mental seperti yang dibicarakan oleh tetangga. Dari pengobatan itulah akhirnya diketahui bahwa penyakit bapak disebabkan oleh kerusakan pada sistem syaraf otaknya. Setelah pengobatan itu, suatu hari bapak terjatuh di rumah. Kaki bapak sedikit biru, tapi masih bisa berjalan. Beberapa hari kemudian, bapak kembali terjatuh saat berlari untuk menolong ponakan yang mengangis. Stroke. Bapak stroke total setelah itu.

Bapak stroke hampir tiga tahun. Selama tiga tahun itu, saya dan emak harus membantu semua aktivitas Bapak. Saya lah yang selalu memotong rambut, kuku maupun kumis bapak. Dalam kondisi stroke dan ingatan yang semakin memudar, ia sering menangis dengan alasan yang tidak jelas. Ia lupa dengan nama saya. Ia lupa dengan segala hal yang berkaitan dengan hidupnya. Satu hal yang tidak pernah ia lupa, namanya.

Semakin hari, bapak juga semakin sulit diajak berkomunikasi. Banyak dari pertanyaan saya yang tidak dijawab dengan jawaban yang semestinya. Ia akan menjawab “Dereng maem,” kepada siapa pun yang bertanya padanya meski pada saat itu ia sedang saya suapi.
Bapak memang sosok yang kasar selama mudanya. Tapi itu bukan alasan bagi saya untuk lupa dengan seabrek kebaikan bapak pada saya. Bapak begitu sayang dengan saya. Kasih sayang seorang bapak terhadap anaknya adalah kasih sayang tanpa syarat. Bapak selalu mendukung saya untuk menjadi juara kelas. RPAL, RPUL, KBJ, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris 7 Milyar kata pun saya punya. Memang sudah dedel-duel, tapi memang kenyataanya bapaklah yang mengenalkan saya dengan buku sejak SD.

“Sregep sinau, yo. Tak tokokno buku nek intuk juara kelas,” begitu kata-kata yang diucapkan pada saya agar selalu termotivasi dalam belajar.

Saya masih ingat. Tahun 1996, saya masuk TK. Dalam gendongan bapak, saya meronta dan menangis minta pulang. Tapi Bapak masih saja sabar membujuk saya sampai akhirnya saya berani masuk kelas waktu itu.

Bapak adalah orang pertama yang mengajari saya aksara jawa. Bapak adalah orang pertama yang mengajari saya menghitung weton kelahiran saya sendiri. Saya pernah diajari rumus menghitung neptu lahir, jati ngarang, dan hari baik. Bahkan saat SMP saya diajari rumus untuk menghitung peringatan 7 hari sampai 1000 hari orang meninggal.
Alm. bapak memang sosok yang istimewa. Saat masih sehat, ia pandai berburu hewan liar di sekitar ladang. Saat masih SD, saya sering ikut berburu dan diajari membuat jebakan burung atau ganggrangan (iki bahasa indonesiane opo, yo?). Bapak juga selalu menggendong saya pada punggungnya yang basah oleh keringat  saat ia nglempir untuk membuat genting.

Beruntung sekali teman-teman yang masih diberikan kesempatan untuk berbakti pada orang tua. Saya sendiri ragu, apakah selama ini saya sudah berbakti pada bapak? Berulang kali saya mengucap maaf saat bapak terbaring di rumah sakit. Saya mengucap maaf untuk kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan pada bapak.

“Maaf Bapak, belum bisa membuatmu bangga.”

Bapak meninggal tepat di hari sabtu, 24 Februari 2018 pukul 12.00 siang pada usia 66 tahun. Saya beruntung karena bapak pergi dalam dekapan saya. Saya membisikkan syahadat di saat-saat terakhir hidup bapak. Saya bahkan nekat naik ke ranjang bapak untuk memeluknya dan menangis seperti orang yang hilang akal di saat-saat terakhirnya.

Kematian adalah kepastian untuk setiap makhluk Tuhan. Tuhan memberikan kematian kepada makhlukNya agar manusia senantiasa sadar bahwa itulah akhir dari kisah hidupnya di masa depan. Kematian bukanlah peristirahatan terakhir, tapi awal dari kehidupan yang tiada akhir. Saya dan juga Njenengan harus bercermin dari sekarang. Selalu memperbaiki kesalahan dan berbuat baik sebagai bekal menemui Tuhan.  Memaafkan seseorang yang telah menyakiti adalah bagian yang tersulit. Meski sulit, lakukan. Karena pada dasarnya, hanya kematian yang tidak memiliki jalan pulang.

Bagi saya, bagian terberat dari sebuah perjalanan adalah perpisahan. Setiap perpisahan pasti akan meninggalkan bekas yang tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Tidak hanya bagi saya, kehilanagan orang yang disayangi bukanlah hal yang mudah. Ada banyak kenangan yang tertanam dalam benak setiap orang yang ditinggalkan.

Sebenarnya ini nasehat untuk saya sendiri. Berhati-hatilah menulis kenangan, karena ia mampu menjadi bagian dari kepingan-kepingan puzzle dalam skenario hidup orang lain. Berhati-hatilah menulis kenangan, karena ia mampu menjadi luka yang tidak mudah disembuhkan dalam waktu yang tidak terbilang.

Saya memohonkan maaf untuk semua kesalahan yang dibuat oleh bapak selama beliau masih hidup. Sudah lama sekali bapak tidak berinteraksi dengan tentangga dan saudara jauh maupun dekat. Mohon maafkan jika bapak saya memiliki kesalahan di masa hidupnya. Doakan agar bapak saya mendapatkan pengampunan dosa, dilapangkan, diluaskan dan diterangkan kuburnya.

Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah memberikan dukungan emosional kepada saya dan keluarga. Maaf kemarin tidak bisa menemui teman-teman yang datang ke rumah untuk takziah. Semoga Tuhan membalas kebaikan teman-teman semua.
Death bring pain that only time can heal. It feels unfair. But, we have to remember, God always give us trial happening based on our ability. God always have best reason why it happens to us. So, don’t worry, everything has going to be better. Two weeks ago, I lost one of my biggest guide in life. Goodbye, Bapak. Heaven is yours.

Innalilahi wa innailaihi rojiun. Lahul Faatihah…

Tugas Akhir Pembatik Level 4 Tahun 2023

Hei...hei...hei...Sahabat Teknologi Yogyakarta tahun 2023. Bagaimana nih, progres tugas akhir PembaTIKnya? Hari ini tenggat terakhirnya, loh...