Lagu Despacito yang saat ini masih booming, saya yakin sudah sering didengar orang. Despacito dinyanyikan oleh mantan ketiga saya yang bermata biru dan berambut pirang, ehm, Mas Biber. Dia menyanyikan lagu ini dengan suara merdu nan syahdu, bertiga. Saat mendengarkan pertama kali, saya begitu yakin bahwa lagu itu memang dinyanikan oleh Mas Biber khusus untuk saya. Walah,,,wis to, Mas! Jan, isin aku,,,
Selanjutnya, ada lagu Mantesongsamalite yang juga pernah booming beberapa puluh tahun yang lalu tapi sampek sekarang belum ada pakar musik yang mengulas lagu yang beneran nyebahi ini. Dengar-dengar, pakr music Indonesa malah beralih profesi menjadi ahi musiom. Catet!! Ahli Musiom.
Sedikit info, lagu Mantesongsamalite yang liriknya terkesan awul-awulan, adalah lagu kebangsaan ekstrakurikuler pramuka saya dulu. Mantesongsamalite adalah akronim dari mangan telo gosong sama-sama kulite. Bodohnya saya, saat diminta menyanyikan lagu itu, saya dan teman-teman seangkatan (mungkin adik kelas juga) senenge pol. Kalo sekarang? Ora gumun!! Saya memang asli Gunungkidul. Tapi tidak seperti itu juga kaleees! Hare gene telo gosong dipangan sak kulite? cape dueh! Kenapa tidak sekalian dibuat mangan gaplek sak jengkine? Bar kuwi, diiris kupinge, diombeni seprit. Mendem.
Nah, kenapa saya ingin membuat perbandingan? karena saya sudah tidak tahu lagi mau menulis apa setelah beberapa waktu yang lalu saya dikirimi sebuah pesan via WA yang alih-alih penting, ternyata malah membahas lagu Despacito. “Astaga!!! Lagu Despacito memiliki arti yang sangat mengerikan.” Begitu judul tulisan yang dikirimkan kepada saya. Bulu kuduk saya langsung berlari membaca judulnya. Tulisan yang membutuhkan durasi waktu sekitar lima menit untuk membacanya itu diakhiri dengan kalimat, “jangan biarkan anak-anak Anda mendengrakannya,” Saya tertawa dengan kalimat pamungkasnya. Anake sopo, Jal? Anaknya mantan? Tendensius bener penulisnya. Ato malah ngawur?
Ha, mbok tidak usah begitu ruwet dengan lagu ini. Toh, sebentar lagi lagu Despacito juga dibuat versi koplonya. Selow saja, Bro.
Dulu juga, saat Om Telolet Om menjadi trending topik, ada yang menulis “Sebarkan! dalam bahasa bla bla bla, Om Telolet Om berarti blu blu blu” Astagaa naga, pikir saya. Mbok, ya, sekalian saja diviralkan, “Omegot ternyata lagu Mantesongsamalite alias mangan telo gosong sama-sama kulite adalah lagu yang mengajarkan tentang kenggragasan…” Misalnya.
Asyik-asiknya saya mendengarkan lagu Despacito, seorang teman mengirim pesan. Awalnya kami membahas rambut. Entah rambut siapa, rambut apa, rambut bagian apa yang dimaksud olehnya. Panjang, pendek, keriting, hitam, putih, ato apa. Saya belum paham karena tiba-tiba dia beralih topik pembicaraan.
“Pemikiranmu radikal,”
Awalnya saya bingung saat membaca pesan itu. tapi setelah dia menjelaskan, saya malah tertawa ngakak. Saya senang saat membaca pesan itu. Setidakya saya merasa dihargai karena ada yang membca tulisan saya dan mengambil kesimpulan seperti itu. Selama ini saya berpikir bahwa radikal adalah suatu pemikiran garis keras yang dimiliki seseorang terkait dengan sesuatu yang diyakininya.
Nahhh, ketika tiba-tiba ada beliau, Bapak ganteng yang mengatakan bahwa saya berpikiran radikal, saya kok, malah gemes, ya! langsung ingat pelajaran Pitekan tropus beberapa tahun yang lalu. “Pitekantrops itu nenek moyangmu,” kata belio waktu itu.
“Ketemu, Yuk! Kita ngobrol sambil makan bakwan dan mendoan. Nyeruput es cendol juga. Ada banyak hal lain yang bisa diceritakan dibanding kata radikal yang saat ini sudah terlalu sering digunakan dan mempunyai definisi yang berbeda untuk setiap orang.”
Tapi untuk kalimat ajakan seperti itu, jelas saya tidak berani. Selain karena saya takut digebuk. Takut juga dengan resikonya. Yang benar “ Sehat terus, nggih. Mugi tambah lancar rezeki panjenengan.”
Eh, tapi kalo beneran ketemu dan makan bakwan, njenengan yang traktir, ya! Uhuk.