Apa yang kamu tahu tentang bahagia? Atau apa yang membuatmu
bahagia? Sebuah pertanyaan sederhana dengan sejuta jawaban.
Saat kecil, salah satu keinginan
saya adalah memiliki boneka dengan rambut pirang, mirip-mirip boneka berbi.
Tapi apa daya. Alm. Bapak hanyalah pembuat genting tanah liat yang bahkan belum
pernah tahu seperti apa bentuk boneka Barbie. Saya malah dibelikan sebuah
boneka dari plastik yang bagian tangan, kepala, dan kakinya bisa dicopot.
Warnanya orange. Seluruhnya berwarna orange. Tidak ada rambutnya. Bola matanya
hanya serupa tempelan kertas berbentuk lingkaran putih dengan bintik hitam di
tengahnya. Alih-alih boneka Barbie, boneka saya malah mirip boneka yang dipake
praktik suster-suster di laboratorium. Lain hari, saya menggunakan benggol
jagung muda yang ada rambutnya sebagai pengganti kekecewaan saya, dan ternyata
itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya bahagia. Apakah saya sedih dengan
kondisi saya saat itu? Ternyata biasa saja. Apa lagi anak kecil tidak pernah
menyimpan memori tentang luka di kepalanya.
Saat pertama kali masuk TK, saya
pernah ditampar Alm. Bapak karena menolak untuk masuk kelas. Alasanya memang
tidak masuk akal. Saya takut masuk rumah joglo. Sebuah alasan yang bahkan tidak
bisa saya terima sampai sekarang. Apakah saya menangis saat ditampar Bapak?
Jawabannya satu kata. Iya. Saya menangis keras sekali. Suara tangisan saya
cukup untuk membuat ayam kampung yang tertidur untuk segera berkokok di pagi
hari.
Bertahun kemudian, ternyata saya merindukan sosok Bapak. Laki-laki pertama
yang saya sayangi. Laki-laki pertama yang tidak pernah mengecewakan saya. Apakah
saya sedih dengan tiadanya sosok Bapak di samping saya? Jawabannya pasti iya.
Bagaimana pun juga, Bapak adalah sosok yang mengajari saya menghitung
weton,arah jati ngarang, dan bahkan diberikan kitab primbon kejawennya.
(Sssttt, Sini tak terawang, kira-kira kamu cocoknya kerja di air atau kerja di
batu! Aha...ha...ha,…ha)
Suatu hari, saya jatuh cinta
dengan seorang laki-laki. Sayang betul dengan dia. saya mengasihi dia tanpa syarat. Saya tidak pernah merasa keberatan saat ia berdoa dengan cara yang berbeda dengan saya. Apakah saya bahagia dengannya? Jawabnya satu kata. Iya. Tapi itu dulu. Dulu sekali…
Sampai suatu hari di tiga tahun
lalu, saya tahu bahwa dia mengkhianati saya dengan perempuan lain. Hati saya
potek sepotek poteknya. Laki-laki yang saya kasihi dengan sepenuh hati, bahkan
lebih dari sekedar menyayangi diri sendiri, pergi begitu saja. Menghilang tanpa
kabar dan tanpa pemberitahuan. Diblokir pula. Kurang nyesek apa lagi, coba?
Saya teringat dengan tangisan saya waktu itu. Mata saya bengkak. Bukan hanya
sehari, tapi berhari-hari. Saya sampai harus izin sakit karena malu keluar
rumah dengan kelopak mata sebesar biji salak. Brengsek memang. Lebih brengsek
dari semua nama hewan di kebun binatang. Maka, saat seseorang yang sudah membuat
saya terluka meminta maaf dan meminta kembali, dengan tegas saya katakan tidak.
No way. Big No!! Saya mengatakannya tanpa ragu. Bagaimana pun, perasaan saya
untukya tidak akan bisa sama. Sesuatu yang telah hancur berkeping-keping, tidak
akan pernah kembali pada bentuknya semula. Apa pun itu. Apakah saya sedih
waktu itu? Jelas iya, tapi tidak sampai ingin mati.
Dan sekarang, nyatanya saya baik-baik saja tanpa dia. Saya mampu menjalani hidup saya dengan baik. Makan tiga kali sehari, ngemil ciki, mandi dan gosok gigi, juga tidak lupa pakai skincare setiap harinya. Apakah ada yang berbeda dengan saya? Jawabnya satu kata. Tidak. Saya masih sama dengan yang dulu, kecuali hati saya.
Suatu hari di tahun ini, saya
jatuh cinta. Tidak jauh-jauh, dengan seorang pegawai bank milik pemerintah. Dia menghubungi saya. Kami mulai mengobrol. Ternyata saya merasa nyaman ngbrol dengan dia. Tapi tidak disangka, seminggu sejak chat kami yang pertama, seseorang menghubungi saya. Saya ditelp dan
dimaki-maki. Awalnya saya bingung, kenapa tiba-tiba ada perepuan yang meluapkan amarah tanpa alasan. saya baru ngeh ketika ia menyebut sebagai istri dari seseorang yang mengajak saya chat sebelumnya. buru-buru saya minta maaf padanya dan memblokir nomor suaminya. Apakah
saya sedih dengan kejadian itu? Jelas iya, tapi tidak sampai ingin mati.
Pertengahan di bulan Juli,
kembali ada dua orang laki-laki. Sejak awal mereka sudah mengatakan ingin
membina hubungan. Bukan hanya sekedar pacaran, tapi memang sedang mencari
istri. Keluarga mereka orang yang baik. Setidaknya saya tahu itu dari cerita
teman-teman saya di sekolah. Sebut saja A adalah sarjana teknik elektro di
universitas paling ternama di Kota Yogyakarta. Sedangkan si B, merupakan salah
satu staf di sebuah universitas swasta di Yogyakarta. Apakah saya bahagia
dengan niat mereka? Rasanya biasa saja. Bahkan, setelah saya berdoa dan meminta
petunjuk kepada Tuhan, saya hanya bisa mengatakan maaf kepada mereka berdua.
Mungkin saya bukanlah perempuan yang dituliskan oleh Tuhan untuk menjadi bagain
dari tulang rusuk mereka.
Apakah saya sedih setelah memberikan jawaban seperti
itu? Ternyata biasa saja. Saya tetap percaya bahwa Tuhan telah menetapkan satu
nama yang akan menjadi imam saya. Tuhan telah menetapkan satu nama yang akan
menjadi ayah dari anak-anak saya kelak. Tapi pertanyaan masih saja sama, "siapa?"
Entahlah,,,,hanya Tuhan yang tahu isi lauhul mahfuznya.
Kali ini, ketika saya sudah
merasa nyaman dengan satu nama, rasa takut dan khawatir itu kembali muncul. Saya
tidak siap jika harus menangis lagi. Saya tidak mau kecewa untuk hal yang sama.
Saya benar-benar merasa takut untuk memulai. Saya hanya berdiri di satu
titik.Tidak berani jika harus bergerak maju, pun tidak berani jika harus melangkah mundur. Rasa sakit yang pernah saya
rasakan, sudah cukup untuk menjadi kenangan. Saya tidak mau hal itu kembali
terulang.
Apakah saya sedih saat ini? Jawabnya iya. Bahkan saya sampai tidak berani menyebut namanya dalam sujud panjang saya. Saya tidak berani menyebut namanya dalam untaian doa saya. Saya hanya meminta yang terbaik untuk saya. Jika memang namanya yang ditetapkan sebagai partner hidup saya, mudahkan. Tapi jika bukan, saya hanya takut menangis tersedu seperti dulu. Rasanya saya tidak sanggup lagi jika harus menghapus nama yang sudah menyembuhkan luka saya.
Apakah saya sedih akhir-akhir ini? Jawabnya iya, tapi tidak sampai ingin mati. Satu-satunya pelarian saya saat ini adalah memeluk Tuhan dalam sujud yang panjang di sepertiga malam. Setidaknya itu bisa menjadi alasan saya saya untuk menengadahkan tangan saya pada Tuhan dengan mesra dan penuh harapan.
Jadi, kebahagiaan itu seperti apa? Punya pekerjaan tetap? Punya rumah? Punya motor, atau barang kali mobil? Materi berkecukupan? Atau kehadiran orang lain yang selama ini kau rindukan?
Atau barangkali, kamu pun juga bisa menjawab pertayaan ini. Apa yang sebenarnya membuatmu bahagia?
Apakah saya sedih saat ini? Jawabnya iya. Bahkan saya sampai tidak berani menyebut namanya dalam sujud panjang saya. Saya tidak berani menyebut namanya dalam untaian doa saya. Saya hanya meminta yang terbaik untuk saya. Jika memang namanya yang ditetapkan sebagai partner hidup saya, mudahkan. Tapi jika bukan, saya hanya takut menangis tersedu seperti dulu. Rasanya saya tidak sanggup lagi jika harus menghapus nama yang sudah menyembuhkan luka saya.
Apakah saya sedih akhir-akhir ini? Jawabnya iya, tapi tidak sampai ingin mati. Satu-satunya pelarian saya saat ini adalah memeluk Tuhan dalam sujud yang panjang di sepertiga malam. Setidaknya itu bisa menjadi alasan saya saya untuk menengadahkan tangan saya pada Tuhan dengan mesra dan penuh harapan.
Jadi, kebahagiaan itu seperti apa? Punya pekerjaan tetap? Punya rumah? Punya motor, atau barang kali mobil? Materi berkecukupan? Atau kehadiran orang lain yang selama ini kau rindukan?
Atau barangkali, kamu pun juga bisa menjawab pertayaan ini. Apa yang sebenarnya membuatmu bahagia?